Thursday, July 31, 2008

Bagaimana rasanya orang buta huruf?

Waktu datang ke Jepang, saat itu saya datang sendirian. Terbang dari Denpasar ke Nagoya kalau ndak salah tanggal 3 Oktober 2002 dini hari jam 00:30 waktu bali. Landing di Nagoya pagi hari kira-kira jam 6:30. Cukup deg-degan juga karena hanya membawa informasi tentang jalur bis atau kereta ke dari Nagoya ke Fukui. Menurut senior saya yang baru pulang dari jepang, sebagai orang baru mending pilih jalur bus saja. Karena kalau kereta waktu singgah antar stasiun singkat sekali, kalau ketiduran bisa bablas (kelewatan). Akhirnya saya mantap pilih jalur bus.

Waktu turun dari pesawat, begitu keluar dari pemeriksaan imigrasi, sudah mulai bingung. Karena tulisan-tulisan yang terpampang dalam bahasa jepang. Saya sendiri berangkat dengan kemampuan nol dalam bahasa jepang. Mau nanya jalur bus ke Fukui. Tidak seperti di Indonesia begitu anda keluar bandara atau stasiun pasti banyak calo yang datang menawarkan jasa taksi, bus, carteran atau ojek. Nah saya bengong sendiri, suasana luar bandara begitu sepi tak ada yang mangkal untuk sekedar menawarkan jasa termasuk penipu.

Akhirnya saya putuskan bertanya pada bagian informasi dekat pintu keluar. Saya nanya bahasa inggris nggak ngerti juga dia. Saya sebut kota Fukui pun dia nggak ngerti. Entahlah karena dia tidak ngerti apa yang saya omongkan. Setelah saya sodorkan jalur bus, di situ telah tertulis nama stasiun bus yang harus saya tuju dari bandara untuk menuju Fukui. Akhirnya mereka ngerti juga lalu saya diantar di depan halte bus. Haltenya hanyala satu tiang berdiri di atasnya ada selembar papan berbentuk lingkaran. Di situ tertulis jadwal kedatangan bus. Ada seorang satpam bandara yang dengan penuh perhatian dia membantu saya menunggu bus untuk memastikan bahwa saya benar-benar naik bus yang tepat.

Selanjutnya saya harus membeli tiket bus pada mesin tiket. Di situ tertera nama stasiun yang dituju dan tarifnya. Dengan bantuan sang satpam tadi saya mendapatkan selembat tiket. Pada jam dan menit yang tertera di papan halte, datanglah bus yang dimaksudkan. Penumpang yang naik tak lebih dari lima orang. Sang satpam membisikkan sesuatu pada sang sopir. Saya benar-benar merasa seperti nenek saya dulu yang buta huruf dan juga tidak bisa ngomong bahasa indonesia. Di jepang ini saya tak bisa baca juga tak bisa ngomong. Tahulah saya bagaimana perasaan seorang buta aksara dan lagi tak bisa bahasa indonesia. Untung jumlah uang masih menggunakan angka biasa.

Sekitar 45 menit perjalanan dengan bus, sampailah saya di stasiun bus Meitetsu Nagoya. Bus berhenti menurunkan penumpang. Saat saya akan turun, sang sopir ngomong sesuatu ditambah bahasa isyarat yang saya artikan bahwa saya tak usah turun. Rupanya sang sopir mengantar saya langsung di depan loket tiket Nagoya-Fukui, juga tempat keberangkatan bus. Sebetulnya penumpang datang harus turun di lantai satu, dan terminal keberangkatan berada di lantai dua. Akhirnya sampai juga saya ke depan loket. Lalu saya minta beli tiket ke Fukui. Lega juga, akhirnya saya tinggal menunggu di halte yang dengan nomor tertentu untuk ke Fukui.

Saat itu hawa sudah mulai dingin. Rasa lapar sudah mulai singgah. Menurut informasi dari kawan saya bahwa di jepang hampir semua mananan haram termasuk roti-rotian apalagi daging dan ayam dipastikan haram. Karena tak disembelih dengan cara islami. Mereka main geret saja yang penting mati. Atau pake mesin pemotong. Lalu saya putuskan untuk beli minuman yang manis saja, dengan merek yang juga dijual di indonesia. Belinya cukup di mesin, masukkan koin, dan pilih minuman yang dikehendaki. Lalu ambil minuman dan kembaliannya. Saya putuskan beli Pocari sweet, minuman pengganti cairan tubuh, seperti diiklankan di tivi indonesia.

Cukup segar minumannya, karena mesinnya dilengkapi pendingin. Saya menunggu di ruang tunggu, seorang diri orang asing. Orang-orang jepang pada sibuk dan necis. Sambil nunggu mereka punya kebiasaan membaca buku, ukurannya mungil. Belakangan saya tahu biasanya novel atau cerita fiksi-fiksi lain. Memang jepang termasuk produktif menghasilkan buku-buku bacaan untuk warganya. Karena budaya baca merupakan kebiasaan saat senggang, entah di ruang tunggu, halter, dalam kereta, bahkan dalam wc sekalipun sebagian orang di lab. saya bekerja juga membaca buku. Tentu saja bagi umat islam membaca dimana saja boleh kecuali dalam WC.

Umumnya orang jepang di tempat-tempat umum seperti stasiun, cuek dan sibuk sendiri. Gadis-gadis muda jepang biasanya mengeluarkan alat rias berupa cermin kecil, terutama membenahi bulu mata palsu yang dipasangkan pada matanya agar bulu matanya kelihatan lebat dan lentik. Atau membubuhkan semacam pinsil penghitam pada garis mata dibuat agak melebar agar ada kesan matanya lebih lebar. Maklum mata orang jepang sipit dan sedikit bulu. Mereka justru ingin bermata lebar dan berbulu lentik. Sebagian orang jepang, terutama nenek-nenek terkesan menghindar berdekatan dengan orang asing. Jika terpaksa berdekatan mereka terkesan tak nyaman. Belakangan baru tahu bahwa banyak orang jepang percaya bahwa pelaku-pelaku kriminal utamannya orang asing. Apalagi orang asing dari Asia. Oh yah, orang asing bule bagi mereka justru dipuja, sama seperti di indonesia juga. Meski di negara asalnya mereka termasuk orang kere.

Saat naik bus saya duduk berdampingan dengan pak tua. Dia nampaknya orang Fukui. Busnya nyaman, pake AC, tidak ada ngamen, tidak ada yang berdiri, pokoknya privasi dalam perjalanan begitu terjamin. Pak tua di samping saya kebetulan orangnya baik. Dia terus saja ngerocos ngomong, saya tak ngerti tapi dia terus saja ngobrol. Akhirnya saya putuskan tidur karena berisik juga. Tiba-tiba bus singgah di suatu tempat. Banyak bus dan juga mobil-mobil berhenti. Pikiran saya, busnya sudah sampai Fukui. Tapi koq sekitarannya masih hutan-hutan? Apa Fukui memang masih lebih sepi dari Kendari?

Begitu semua turun, pak tua turun, saya diajak juga. Saya segera meraih tas bawaan, tapi dia dengan isyarat melarang saya. Ternyata orang-orang tadi turun menuju toilet untuk sekedar buang air kecil atau besar. Nah saya juga ikutan kebetulan mau pingin pipis. Setelah pipis bingung juga karena tak ada tempat cebo'. Padahal selepasnya saya pingin wudhu untuk shalat. Dalam keadaan bingung, saya lihat begitu orang meninggalkan tempat pipisnya secara otomatis air keluar membasunya. Nah ada akal. Saya mundur sedikit, airnya langsung keluar membasuh tempat pipis. Lalu saya ambil airnya pake tangan kiri untuk membersihkan diri. Orang jepang yang pipis di samping saya kelihatan heran dan kikuk dengan kelakuan saya. Cuek saja yang penting bisa memenuhi aturan syariat.

Begitu keluar dari toilet, pak tua sudah menunggu saya rupanya bus akan berangkat lagi. Tempat ini memang belum Fukui. Belakangan saya tahu namanya 'Rest area'. Biasanya rest area ini ada di jalur tol. Untuk memberikan tempat bagi pengemudi untuk beristirahat sejenak. Entahlah apakah ada aturannya atau tidak, nampaknya orang jepang begitu teratur menggunakan rest area. Jika melakukan perjalanan jauh misalnya 8 jam perjalanan. Kebetulan kami sering bepergian menggunakan mobil dengan anggota lab jika pergi seminar di kota lain. Setiap periode dua atau dua setengah jam, kami selalu singgah di rest area. Selama lima sampai sepuluh menit lalu berangkat lagi. Warga jepang memang begitu teratur. Istirahat setiap dua jam tsb akan membantu menjaga kebugaran pengemudi.

Kira-kira jam 15:30 tibalah saya di stasiun Fukui. Oh yah berangkat jam 11:20. Sudah ada mahasiswa S2 di lab tempat saya belaja yang menjemput saya. Saat di Nagoya Airport saya menelepon dulu ke profesor saya di Fukui, bahwa saya sudah di Nagoya. Dia akan menunggu saya di Fukui saja. Barang-barang saya diangkut naik mobil sang mahasiswa. Lalu dipertemukan dengan profesor untuk berkenalan. Setelah semua beres saya diantar ke apartemen untuk mahasiswa asing. Kemudian diantar belanja berbagai kebutuhan untuk dapur dan juga perabotan. Yang paling penting adalah kasur dan selimut disebut futong. Kasurnya tipis, kira-kira 1/2 dari tebal kasus dari kapas yang dijual untuk mahasiswa. Belanja kebutuhan dapur cukup di toko 100 yen namanya. Di situ semua barang harganya 100 yen mulai dari sendok piring sampai alat tulis menulis, bahkan alat sepeda, kunci-kunci, obeng, komplitlah. Setelah belanjanya cukup, kami pindah ke supermaket besar untuk beli rice cooker, panci dll. Lengkaplah sudah, tinggal makanan, beras sudah beli. Tinggal lauknya. Masih ada indomie kebetulan saya bawa dari indonesia. Lalu teman mahasiswa tadi pulang. Sudah hampir magrib. Saya tinggal di kamar sampai keesokan harinya. Ternyata tetangga kanan kiri saya orang Indonesia, dari Aceh dan Surabaya. Ada juga muslim dari India, dari daerah Tamil Nadu. Lengkaplah bisa ngomong bahasa Indonesia kapan saja, makan bersama. Kondisi psikologis meninggalkan tanah air sudah mulai agak pulih. Karena ada teman Indonesia. Apalagi setelah tiba masa shalat, kami shalat berjamaah menggunakan salah satu ruang kosong di apartemen. Lengkaplah sudah bekal untuk menghadapi masa-masa sulit memulai riset untuk pendidikan S3.

Demikian kisah perjalanan 6 tahun lalu semoga ada manfaatnya.

Mari tolak RUU BHP

Rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (RUU BHP) sudah dirampungkan dan sekarang dalam proses uji publik. Departemen pendidikan nasional menyediakan tempat khusus bagi masyarakat untuk memberikan saran dan kritik atas RUU tersebut secara online pada http://pih.diknas.go.id/bhp/.

RUU ini sebetulnya adalah kelanjutan dari proses terbentuknya badan hukum milik negara (BHMN) atas beberapa perguruan tinggi negeri besar seperti UI, ITB, IPB, dan UGM. Nampaknya RUU ini begitu cepat terbentuk dibandingkan dengan pembentukan RUU lain yang biasanya memakan waktu puluah tahun mulai konsep sampai draft RUUnya. Kita patut bertanya-tanya mengapa begitu cepat proses tersebut, padahal pelaksanaan BHMN di PTN-PTN ternama tersebut masih jauh dari memuaskan. Saya termasuk salah seorang yang tak setuju pada konsep BHMN ini. Dalam diskusi-diskusi di milis Perhimpunan Pelajar Indonesia Jepang (PPI-J) yang diddominasi oleh alumni maupun dosen-dosen dari perguruan tinggi besar tersebut saya selalu melakukan kritik yang cukup keras atas BHMN. Berikut beberapa alasan dan rangkuman pendapat saya mengapa saya menolaknya.

Pertama, kita perlu tengok dulu bagaimana kesenjangan kemajuan PTN di Indonesia. Perguruan-perguruan tinggi terbaik hampir semua hanya terpusat di pulau jawa. Padahal perguruan tinggi negeri dibangun dari hasil seluruh wilayah indonesia. Mengapa dan bagaimana pemerintahan orde baru mengalokasikan dana, sumberdaya, dsb untuk memajukan pendidikan di negara kita sehingga setelah 63 tahun merdeka, perguruan tinggi dengan kualitas terbaik hanya ada di pulau jawa. Menurut saya ada yang salah dengan cara pemerintah mengalokasikan anggaran dalam menunjang operasional perguruan tinggi sehingga kita hanya menghasilkan kurang dari 10 buah perguruan tinggi dengan kualitas terbaik sementara mayoritas yang lain di luar pulau jawa, tertinggal jauh di belakang. Coba kita tengok para menteri selama orde baru bahkan sampai saat ini. Hampir semuanya jika diambil dari kalangan akademisi adalah dari UI, ITB, UGM, dan IPB. Nah mereka-mereka inilah yang mengontrol kebijakan-kebijakan pendidikan dan anggaran, yang disadari atau tidak, disengaja atau tidak, menyebabkan perguruan tinggi negeri tertentu saja yang melaju pesat. Artinya hasil-hasil kekayaan alam yang digerus dari seluruh tanah air kemudian dikumpulkan di jakarta lalu didistribusikan dengan cara yang tidak benar sehingga sumberdaya hanya terpusat pada beberapa gelintir perguruan tinggi yang sekarang menjadi BHMN.

Nah, pada awal-awal reformasi, otonomi daerah menjadi isu utama. Setelah otonomi daerah maka terjadi perubahan besar-besaran anggaran tiap-tiap daerah. Ini tentu saja akan berimbas pada dukungan daerah bersangkutan atas operasional perguruan tinggi negeri di daerah yang dimaksud. Pemerintah pusat membagi sebagian bebannya kepada pemerintah daerah untuk berperan dalam mengembangkan pendidikan di daerahnya. Tentu saja daerah seperti DIY tak akan sanggup membantu UGM dalam mengembangkan dirinya, demikian juga dengan Jawa Barat harus menyokong IPB dan ITB, maupun DKI dengan UInya.

Pada saat bersamaan, perguruan tinggi negeri sudah lama merindukan adanya keleluasaan dalam mengelola anggaran yang diterimanya agar mereka dapat mengelola anggaran lebih efisien dan tepat sasaran. Konsep ini dulu juga sering disebut otonomi. Nah di saat universitas sedang membutuhkan dana untuk mengejar keterlambatan setelah banyak mengalami perlambatan oleh kebijakan represif pemerintah orde baru, para ekonom dan para rektor perguruan tinggi besar tersebut, dan orang-orang yang mendominasi mainstream isu-isu nasional saat itu melegitimasi pernyataan pemerintah saat itu di bawah IMF bahwa negara tak sanggup lagi menyokong operasional perguruan tinggi. Ini seperti palu godam yang menghantam perguruan-perguruan tinggi. Bukankah untuk mengejar ketertinggalan, mereka butuh dana dan perhatian lebih besar agar kesenjangan kemajuan pendidikan antar wilayah dapat diatasi.

Pada saat itu, setelah pertemuan forum rektor sekitar tahun 1999, pada suatu konferensi pers, diumumkan bahwa pemerintah sudah tak mampu lagi mendukung operasional peguruan tinggi negeri sehingga satu-satunya jalan adalah otonomi perguruan tinggi yang kemudian berwujud menjadi BHMN saat ini. Saya tidak tahu bagaimana bisa para rektor universitas kecil mau saja menyetujui BHMN sebagai salah satu produk forum rektor saat itu? Apakah mereka tak sadar bahwa BHMN tidak akan bisa diterapkan di universitas kecil karena dalam konsep BHMN universitas harus bisa menggali sumber-sumber keuangan selain bantuan pemerintah. Potensi apa yang bisa dijual oleh perguruan-perguruan tinggi kecil? Lazimnya di luar negeri seperti Jepang dan Amerika, perguruan tinggi mendapatkan dana luar biasa besar dari kerjasama-kerjasama dengan industri, hasil penjualan paten, bahkan ada universitas yang mampu mendirikan perusahaan dalam memasarkan produk-produk risetnya. Mengapa BHMN di sana berhasil? Mereka berhasil karena universitasnya punya kemampuan dalam menjawab tantangan industri, sebaliknya perusahaan2 di luar negeri umumnya berbasi riset demi memenangkan persaingan global.

Bagaimana dengan kondisi internal perguruan tinggi kita dan juga kondisi eksternal yang melingkupinya? Riset-riset kita masih jauh dari memadai, juga perusahaan-perusahaan kita hanyalah perusahaan-perusahaan yang tak membutuhkan riset, mereka hanya butuh berkongsi dengan pejabat untuk markup proyek, manipulasi perizinan, dll. Sangat sedikit perusahaan yang dengan berbasis teknologi. Akhirnya mereka tak butuh bantuan perguruan tinggi. Mereka tak mengejar persaingan global sehingga tak butuh riset serius. Dalam kondisi seperti itu, para rektor yang terlibat dalam forum rektor yang menyetujui lahirnya BHMN adalah benar-benar tak paham apa yang sendang mereka diskusikan. Ini sungguh memprihatingkan. Sementara para rektor universitas besar justru memanfaatkan forum rektor yang saat itu sangat powerful sebagai kekuatan baru setelah Golkar dan ABRI mengalama delegitimasi. Pada saat itu presiden Habibie banyak mengadopsi pikiran-pikiran bahkan membutuhkan legitimasi dari forum rektor karena Habibie juga menghadapi resistensi dari banyak pihak. Nah pada saat forum rektor sedang dalam posisi penting tsb, justru tidak digunakan untuk menekan presiden Habibie agar lebih banyak menggelontorkan dana untuk dunia pendidikan tinggi, tetapi malah digunakan untuk memuluskan 'hidden agenda' PTN-PTN besar tsb untuk membentuk apa yang kemudian disebut BHMN.

Nah dalam kondisi dimana UI, ITB, UGM, dan IPB menjadi favorit dan dengan kualitas jauh di banding yang lain, mereka maju dengan BHMN dengan keleluasaan untuk mencari sumber-sumber penghasilan tambahan termasuk saat ini membuat berbagai macam komponen biaya masuk yang meski memberatkan mahasiswa tetapi mereka tetap akan milih masuk di sana karena paling top di Indonesia. Sementara universitas lain tinggal melongo, dana dari pusat semakin terbatas tapi mau BHMN juga belum sanggup karena banyak dosennya tak produktif sehingga hasil-hasil risetnya belum bisa diandalkan untuk menjalin kerjasama-kerjasama dengan perusahan maupun institutsi dalam dan luar negeri. Selanjutnya dapat ditebak PTN kecil bagaikan hidup segan mati tak mau.

Nah pada kondisi seperti ini, mereka bekerja cepat mendorong lahirnya RUU BHP agar mereka mempunyai kekuatan hukum dengan statusnya sebagai BHMN. Untuk memuluskan langkahnya agar RUU ini tidak mencolok melayani kepentingan mereka, dimasukkanlah juga SD sampai perguruan tinggi dapat bahkan wajib menjadi BHP seperti mereka.

Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin kesenjangan pendidikan antar wilayah dapat diatasi? Ini saya sebut sebagai penghianatan perguruan-perguruan tinggi besar. Mereka menikmati kue pembangunan lebih banyak saat masa orba, kemudian sekarang mereka lebih bisa memacu dirinya dari dana-dana mandiri karena sudah BHMN. Sementara yang lain BHMN juga nggak akan bisa, tapi sokongan dana dari pemerintah tak bisa ditingkatkan. Karena kita, oleh persekongkolan level tinggi ini, sudah berhasil diyakinkan bahwa pemerintah tak sanggup menyokong operasional perguruan tinggi. Padahal soal mampu tidak mampu adalah persoalan bagaimana mengatur alokasi anggaran. Kalau kita bisa menyakinkan pemerintah bahwa pendidikan adalah prioritas maka pasti akan ada alokasi berlebih untuk dunia pendidikan dan dikurangi untuk bidang lain. Tapi sekarang begitu mereka bisa BHMN mereka tak terlalu bersemangat lagi mendorong pemerintah pusat agar membuat kebijakan yang lebih berani dalam bidang pendidikan. Sementara suara dari perguruan tinggi besar tsb paling didengar dan berpengaruh di negara kita. Demo puluhan ribu guru tak ada artinya bagi pemerintah, karena mereka tak sekuat jika ada pernyataan sikap 100 profesor dari perguruan tinggi besar tsb yang mendesak pemerintah menaikkan anggaran pendidikan.

Mari kita tolak RUU BHP ini. RUU ini hanya akan memperbesar kesenjangan pendidikan antar wilayah. RUU ini adalah masalah ke 100 dalam dunia pendidikan kita. Mari kita desakkan RUU yang memaksa pemerintah agar segera memperkecil kesenjangan pendidikan antar wilayah.

Wednesday, July 30, 2008

Dibalik kemelut SK Gubernur dan SK Mendagri

Bulan-bulan terakhir ini sulawesi tenggara cukup sering masuk berita nasional. Dimulai dengan anarkisme mahasiswa-polisi pasca demo anti penggusuran PKL di kota kendari, pembakaran salah satu gedung di kampus Unhalu oleh para preman, sampai dengan polemik penolakan pejabat bupati Butur dan Konut yang ditunjuk oleh Mendagri juga adanya SK ganda untuk posisi yang sama karena SK Gubernur keluar lebih dulu menunjuk para sekda sebagai pejabat bupati.

Nah untuk kasus ketiga ini, polemiknya menjadi berkepanjangan karena gubernur merasa benar dan mempunyai kewenangan untuk menunjuk pejabat bupati sementara mendagri merasa jauh lebih berhak karena penunjukkan saat ini berstatus perpanjangan masa jabatan sebagai pejabat sementara. Kasus ini menunjukkan betapa kuat aroma politik dalam penujukkan pejabat bupati tsb. Mendagri semestinya berkonsultasi terlebih dahulu dengan gubernur sebelum menunjuk pjs bupati. Demikian juga gubernur, jika alasan tak dicabutnya SK penunjukkan pjs bupati agar tak terjadi kekosongan jabatan, maka semestinya begitu keluar keputusan mendagri maka SK tsb dicabut saja. Toh SK gubernur hanyalah untuk menjaga agar tak terjadi kekosongan kekuasaan. Sebab membiarkan berlakunya penunjukkan ganda untuk satu posisi dalam pemerintahan hanya akan merugikan daerah bersangkutan. Dan gubernur sebagai warga sultra harus lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya. Polemik tsb akan banyak menghambat proses pembangunan seperti proses perizinan, investasi, dll karena kewenangan ganda tsb akan menimbulkan ambigu di tengah masyarakat. Polemi ini sekali lagi tak merugikan mendagri tetapi hanya merugikan rakyat kedua kabupaten tsb sekaligus rakyat dari sang gubernur.

Di sisi lain, penolakan warga atas pejabat yg ditunjuk oleh gubernur menunjukkan bahwa pejabat pusat hanya menggunakan kekuasaan dalam menyelesaikan masalah. Mendagri hanya berputar-putar pada soal kewenangan. Padahal esensi penunjukkan pjs bupati tsb adalah bagaimana menempatkan the right man on the right place. Jika rakyat melakukan perlawanan seperti ini patut dipertanyakan kriteria apa yang digunakan oleh mendagri dalam memilih pjs bupati diantara puluhan bahkan ratusan pejabat karir maupun politisi yang memenuhi syarat untuk menduduki posisi tsb agar kedua daerah tsb dapat tetap melanjutkan agenda-agenda pemerintahannya guna menuju pada terpilihnya bupati definitif hasil pilihan rakyat secara langsung.

Semoga gubernur dan mendagri dapat duduk bersama sebagai negarawan dalam menyelesaikan masalah ini. Tempatkanlah kepentingan rakyat di atas segalanya. Janganlah malu mencabut SK yang terbukti hanya akan memperlambat roda pemerintahan daerah. Daerah baru tsb akan semakin tertinggal jauh jika gubernur dan mendagri hanya ngotot-ngototan paling berkuasa dan berwewenang atas penunjukkan pjs bupati Butur dan Konsel

Penyambutan presiden ala orba

Hari ini saya cukup kaget begitu membuka kendari ekspres online. Salah satu beritanya adalah persiapan penyambutan presiden SBY yang menurut saya begitu sarat dengan kamuflase yang dilakukan oleh pemda Konawe Selatan. Saya yakin begitu besar dana yang dikeluarkan untuk mensulap daerah dari kondisi semerawut menjadi seolah-olah tertata bersi dan rapi. Cara-cara seperti ini adalah praktek-praktek masa orde baru untuk menyenangkan pejabat tinggi dan sekaligus menyembunyikan ketidakbecusan pejabat daerah dalam membenahi daerahnya. Bukankah presiden SBY bukanlah tamu bagi kita? Dia adalah presiden, penanggungjawab tertinggi nasib bangsa ini termasuk Konsel. Mestinya presiden harus melihat dengan jelas bahwa begitu terbelakang daerah-daerah di sultra jika dibandingkan dengan daerah-daerah di Jawa. Bahkan ibukota propinsi Kendari kalah jauh dari ibukota kabupaten di Jawa.

Realitas ketertinggalan wilayah kita harus ditunjukkan kepada presiden agar dalam dapat merumuskan langkah-langkah yang tepat guna mengatasi kesenjangan antar wilayah. Biaya besar untuk menghias jalur yang dilewati presiden termasuk memperbaiki jalannya adalah pengeluaran yang tak perlu. Semestinya pemda Konsel dan juga gubernur hanya fokus pada menyediakan pengamanan standar pada presiden. Kondisi jalan yang rusak harus dirasakan sendiri oleh presiden. Agar pemerintah pusat tidak hanya sibuk membuat proyek jalan tol di jakarta dan sekitarnya. Beliau harus tahu bahwa masyarakat sultra setiap harinya harus melalui jalan yang rusak.

Pemda Konsel, mungkin saja malu jika kegagalan mereka mengurus daerah dilihat oleh presiden. Jika letak persoalannya adalah selama ini anggaran dihabiskan untuk hal-hal yang tak perlu sehingga jalan-jalan tidak diperbaki, pasar dibiarkan bau dan semerawut, maka pantaslah pemda Konsel rela menghambur-hamburkan uang untuk menyenangkan presiden sekaligus menyembunyikan borok Bupati Konsel dalam membangun daerahnya. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat, anggaran kabupaten untuk setahun mungkin habis untuk menyambut kunjungan presiden sehari.

Dalam perjalanan pulang nanti presiden akan berdiskusi dengan orang-orang di ring satunya, bahwa ternyata kabinet sekarang telah berhasil, buktinya Konawe Selatan saja yang jauh di pelosok sana sudah diaspal dengan licin. Padahal semua itu adalah parade kepalsuan. Akhirnya rakyat tetaplah terabaikan.

Selamat kepada Bupati Konsel yang telah memperlakukan presiden sebagai tamu agung. Bukankah presiden harusnya ikut bertanggungjawab tidak terawatnya Konsel karena anggaran dari pusat yang kurang. Semoga kunjungan ini lebih banyak membawa manfaat untuk masyarakat bawah, bukan hanya sekedar tebar pesona menujelang pemilu 2009

Selamat datang di sultra today

Sayang mengundang masyarakat Sulawesi Tenggara baik yang berdomisili di sultra maupun yang saat ini sedang merantau untuk tukar informasi, berita, opini, diskusi dan berbagai hal. Syukurlah paling tidak telah ada dua media online yang tersedia bagi kita yang di perantauan untuk dapat mengikuti perkembangan di sultra terutama masalah politik yang cukup banyak menari perhatian masyarakat. Hanya saja kadang-kadang, menurut pandangan amatiran saya, masih sering ada berita yang dimuat yang terkesan merupakan suatu iklan dari tokoh politik, pejabat, banyak nara sumber yang dirujuk tak memiliki kompetesi untuk menjelaskan hal dibahas. Kita butuh media alternatif, sebagai tambahan, penunjang bahkan sebagai pembanding media formal.

Di sinilah anda diharapkan dapat menuliskan apa yang anda pikirkan tentang sultra.