Wednesday, September 10, 2008

Mereka Hidup Bahagia Tanpa Nafkah

Ustad Boby Heriwibowo - detikRamadan

Jakarta - Hidup ini memiliki skenario pasang-surut. Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti. Keceriaan dan duka nestapa adalah suatu hal bermakna. Keduanya seperti dua sisi koin yang membentuk satu kesatuan. Hampa terasa bila kebahagiaan tidak pernah diiringi dengan kesedihan, karena keindahannya dapat terabaikan. Sebab itu, kemiskinan jadi pilihan. Ya.., pilihan hidup baginda Rasulullah Saw dan keluarganya!

Rasulullah Saw pernah diberikan tawaran oleh Allah Swt untuk menjadi seorang nabi sekaligus raja, atau seorang nabi yang hanya rakyat jelata. Maka Rasul Saw memilih untuk menjadi sekedar abdan nabiyan, seorang nabi yang menjadi rakyat jelata saja. Itulah pilihan Nabi Saw. Dan beliau amat paham atas konsekuensi dari pilihannya.

Suatu hari kota Madinah gempar. Semua penduduk merasa khawatir sehingga mereka harus hadir. Ya, mereka semua hadir di depan rumah Rasulullah Saw yang sempit. Sementara pintu rumah tertutup, maka semua ummat pun duduk bersimpuh di tanah menanti kabar dari dalam rumah.

Kekhawatiran mereka adalah sudah sekian lama Rasulullah Saw tidak keluar dari sana, dan sempat terlihat oleh mata mereka beberapa istri Rasulullah Saw datang dan masuk ke dalam rumah untuk menyelesaikan sebuah masalah. Menurut mereka... rumah tangga Rasulullah Saw dalam sebuah dilema. Karenanya, mereka semua turut berduka. Kisah ini disampaikan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya.

Tibalah Abu Bakar turut hadir di depan rumah Rasulullah. Sesaat kemudian, ia memohon izin untuk masuk ke dalam. Ia pun diizinkan. Melihat hal itu, Umar bin Khattab pun melakukan hal yang sama. Lalu, ia pun diizinkan. Keduanya, sudah berada di dalam rumah. Dalam ruangan rumah yang sempit terlihat oleh mereka, Rasulullah Saw duduk terdiam dan dikelilingi oleh seluruh istri beliau. Anehnya, semuanya terdiam dan tidak ada yang berbicara sedikitpun.

Demi melihat kekakuan di sana, Umar pun berinisiatif untuk berkelakar seraya berkata, “Wahai Rasul, kalau saja Binti Kharijah (istri saya) meminta nafkah berlebih, pasti akan aku cekik lehernya!” Benar saja, Rasulullah Saw pun tersenyum begitu mendengar kelakar Umar. Kemudian Rasul Saw menimpali dengan sabdanya, “Wahai Umar, seperti yang kau lihat... semua istri yang mengelilingiku saat ini, mereka semua meminta nafkah dariku!”

“Oh...!!” Umar dan Abu Bakar Ra mengeluarkan nada yang sama tanda mengerti. Jadi karena hal nafkah, semua istri Rasulullah Saw hadir dan berkumpul di rumah ini. Rupanya mereka semua sedang menyidang dan menghakimi diri Rasulullah Saw demi menuntut nafkah.

Malu!!! Itulah yang dirasakan oleh Abu Bakar dan Umar. Keduanya langsung bergegas menghampiri putri mereka yang dijadikan istri oleh Rasulullah Saw. Abu Bakar menghampiri Aisyah Ra, dan Umar mendekati Hafshah. Lalu kedua leher mereka pun dicekik dari belakang oleh ayah masing-masing.

Sambil mencekik, Abu Bakar dan Umar pun berkata kepada anak mereka, “Apakah kalian tidak malu untuk meminta nafkah yang tidak dimiliki oleh Rasulullah Saw?” Aisyah dan Hafshah pun panik dan memohon ampun kepada ayah mereka. Kedua ayah itu tidak beringsut dari tindakan mereka. Hingga akhirnya, Rasul Saw pun menengahi dengan memberi isyarat kepada Abu Bakar dan Umar untuk menyudahi tindakan mereka.

Sebuah kejadian yang memalukan bagi Abu Bakar dan Umar, dan rasa malu itupun akhirnya dirasakan oleh Aisyah kemudian yang berubah jadi manisnya kenangan.

Memang, Aisyah pernah merasakan kegetiran hidup bersama Rasulullah Saw sebab ketiadaan nafkah. Namun saat sang suami terkasih itu telah tiada... ketiadaan nafkah baru dapat dipahaminya sebagai sebuah episode hidup yang memang mendatangkan kebahagiaan.

Ketiadaan nafkah bisa mendatangkan kebahagiaan...!

Hari itu Aisyah Ra sedang di beranda. Lamunannya mengawang ke langit mengenang suami terkasih yang telah berpulang ke haribaan Allah Swt. Kali ini, ia ditemani seorang keponakannya yang bernama Urwah. Ia hadir di sana demi menghibur sang bibi yang sedang sedih kesepian.

Dalam pembicaraan mereka berdua, entah mengapa Urwah seolah tertarik untuk melempar tanya, “Wahai bibi, tolong ceritakan kepadaku bagaimana kalian membina rumah tangga?”

Sambil tersenyum getir, Aisyah mencoba mengulang kembali kenangan indah yang paling berkesan saat ia masih menjadi istri baginda Rasul. Tak kuasa menahan perasaan kangen terhadap sang suami tercinta, Aisyah Ra pun memulai sambil menghela nafas panjang. “Demi Allah wahai keponakanku. Sungguh kami pernah melihat bulan sabit berganti di langit sampai 3 kali berturut-turut dalam dua bulan. Selama itu tidak pernah tungku api menyala di seluruh rumah istri Rasulullah Saw.”

Aisyah Ra masih tetap tersenyum meskipun kalimat itu telah terhenti. Mendengarnya, Urwah kaget dan langsung merespon, “Wahai bibi, bagaimana kalian bisa bertahan hidup bila sedemikian?” pertanyaan ini meluncur dari bibirnya seolah tak percaya dan respon yang sama mungkin akan keluar dari diri kita bila mendengar hal sedemikian.

Aisyah lalu menjawab, “Dengan dua benda hitam; yaitu korma dan air yang tidak jernih. Namun terkadang beberapa tetangga Rasulullah Saw dari golongan Anshor yang memiliki domba suka mengirimkan susu kepada kami untuk diminum.” Hadits Muttafaq Alaihi.

Subhanallah! Itulah kebahagiaan keluarga bumi yang berhati langit. Ketiadaan materi tidak membuat mereka panik, berespon keras atau meminta cerai dari Rasulullah Saw. Benar, episode hidup keluarga ini telah dipertontonkan Allah Swt kepada ummat dan kita semua, bahwa pilihan hidup bahagia meski tak berlandaskan materi dapat dijalankan dengan damai.

Lalu bagaimana pengkondisian terhadap keluarga yang shalih itu dilakukan oleh Rasulullah Saw? Jawabannya adalah dengan cara senantiasa berhubungan dan berpasrah diri kepada Allah Swt Yang Maha Memelihara, Menjaga dan Menjamin Rezeki setiap hamba-Nya. Bukankah Allah telah berjanji,

“Siapa yang bertawakkal (berpasrah diri) kepada Allah, maka Allah akan menjamin hidupnya”? (QS.65:3)

Benar saja, meski tiada nafkah yang dapat diberikan kepada keluarga, beberapa tetangga dan shahabat dari suku Anshar sering mengirimkan makanan dan minuman kepada Ahlul Bait Rasulillah. Seperti yang tergambar dalam hadits berikut ini:

Dari Anas Ra, “Nabi Saw menggadaikan baju besinya dengan sejumlah tepung gandum. Karenanya, aku pun datang kepada Nabi Saw dengan membawa roti gandum dan minyak sayur. Sungguh aku pernah mendengar beliau Saw bersabda, “Keluarga Muhammad tidak pernah memiliki satu sha’ gandum baik pada waktu pagi maupun sore.” HR. Bukhari

Keluarga Muhammad Saw tidak pernah memiliki nafkah yang cukup untuk menghidupi hari-hari mereka. Akan tetapi kehidupan mereka berjalan mulia dan keharmonisan pun masih tetap mereka miliki.

Jika mereka bisa hidup bahagia tanpa keberadaan nafkah, lalu bagaimana dengan kita? Semoga Allah Swt berkenan memberikan manisnya kebahagiaan seperti itu! Amien