Showing posts with label Kabar dari jepang. Show all posts
Showing posts with label Kabar dari jepang. Show all posts

Wednesday, August 20, 2008

Enaknya melahirkan di Jepang

Alhamdulillah telah lahir tiga anak saya selama masa studi dan bekerja di jepang. Anak pertama perempuan lahir tahun 2005, anak kedua juga perempuan tahun 2007, dan yang ketiga laki-laki dua bulan lalu. Bagi kita di Indonesia proses kelahiran anak disamping sebagai prosesi membahagiakan bagi orang tua dan kakek-neneknya, terselip kekuatiran soal biaya mulai dari proses kehamilan sampai melahirkan apalagi jika harus operasi.

Ada dua masalah yang dihadapi yaitu pelayanan kesehatan/rumah sakit dan biaya. Bukan rahasia lagi, ada uang ada pelayanan. Mereka yang memiliki kantong tebal dapat memilih dokter terbaik dengan pelayanan khusus. Tapi bagi kebanyakan orang dengan penghasilan paspasan harus berdesak-desakkan di rumah sakit umum yang kadang-kadang pelayannya sangat memprihatinkan. Apalagi jika harus menggunakan askes, prosedurnya jauh lebih sulit dengan pelayanan kadang-kadang tak memuaskan.

Sangat berbeda dengan kondisi di jepang. Setiap penduduk jepang harus ikut dalam program dalam salah satu, asuransi kesehatan nasional atau asuransi kesehatan perusahaan. Dengan ikut asuransi kesehatan maka 70% biaya berobat/pemeriksaan kesehatan ditanggung oleh asuransi. Karena seluruh warga jepang harus ikut asuransi, maka tak ada loket khusus seperti di indonesia untuk pasien askes. Padahal loket khusus tsb menyebabkan perbedaan pelayanan, biasanya rumah sakit mendahulukan pasien non askes karena bayarnya cash.

Di jepang, premi asuransi kesehatan perbulan ditentukan berdasar penghasilan (dari laporan pajak tahunan) dan jumlah anggota keluarga. Orang dengan penghasilan tinggi harus bayar premi lebih mahal dibandingkan dengan yang berpenghasilan lebih rendah. Istri dan anak-anak diperhitungkan dengan formulasi tertentu dan secara otomatis ikut dalam premi askes yang dibayarkan oleh kepala rumah tangga. Sebagai gambaran, ketika saya masih mahasiswa dengan satu anak (tak bayar pajak), premi perbulan sekitar 5 ribu yen (sekitar 415 ribu rupiah). Sangat berbeda ketika dalam status visa kerja (tentu harus bayar pajak), premi perbulan sekitar 25 ribu yen (sekitar 2 juta rupiah) perbulan. Tentu saja dengan lonjakan premi tsb, kita menuntut pelayanan prima, belum lagi pajak penghasilan yang dibayarkan. Dan sejauh ini pelayanan di rumah sakit maupun kantor-kantor pelayanan umum lainnya sangat baik karena mereka sadar bahwa setiap penduduk jepang, penduduk asli maupun warga asing, telah membayar pajak dan premi asuransi kesehatan sesuai dengan penghasilannya. Dan operasional pemerintah memang sebagiannya disokong oleh pajak.

Dengan memiliki kartu askes kita dapat memilih berobat di rumah sakit mana saja, bahkan jika tak mau antri di rumah sakit umum, boleh berobat di klinik-klinik spesialis dengan tetap hanya membayar 30% dari ongkos berobat/konsultasi.

Kembali ke soal kasus melahirkan. Tentu saja bagi warga jepang pun peristiwa kelahiran membutuhkan biaya besar. Ancar-ancar biaya rumah sakit untuk melahirkan normal sekitar 300 ribu sampai 400 ribu yen, sedangkan untuk operasi sekitar 150 ribu sampai 250 ribu yen.

Aneh khan? Koq operasi malah lebih murah? Kalau di indonesia operasi lebih mahal daripada lahir normal. Ini terjadi karena melahirkan dengan cara operasi dianggap sebagai suatu kecelakaan atau penyakit sehingga biayanya 70% ditanggung oleh askes. Sedangkan pada kasus melahirkan normal, dianggap sebagai penyakit, sehingga pasien harus membayar 100% biayanya.

Untuk pemeriksaan selama kehamilan, ibu hamil harus kerumah sakit setiap 2 minggu. Setiap tahap perkembangan janin selalau dipantau dengan USG dan print outnya diberikan kepada pasien sehingga dapat ikut mengetahui perkembangan janin termasuk mengecek ukuran janin apakah normal atau kelainan. Oh yah kantor askes memberikan cuma-cuma buku kontrol kehamilan, sebagai panduan pasien dan dokter. Di dalamnya memuat tahapan-tahapan pemeriksaan yang harus dijalani, dan wajib diisi oleh dokter. Di dalam buku tsb juga disediakan kupon potongan biaya untuk kasus-kasus pemeriksaan darah mendetail yang membutuhkan biaya banyak seperti pemeriksaan HIV, hepatitis, kandungan virus rubella, kadar hemoglobin, dll. Pada kasus-kasus tsb saat membayar, kasir mengambil satu kupon potongan tsb sehingga ibu hamil hanya membayar sisa 20% biaya dikurangi dengan nilai potongan kupon. Bayangkan pemeriksaan-pemeriksaan dengan teliti dan fasilitas terbaik di rumah sakit propinsi, terasa tak memberatkan karena keberadaan askes.

Ada fasilitas yang sangat membantu dan tak ditemui di negara kita. Di seluruh jepang, penduduk dengan penghasilan tak tetap atau rendah seperti mahasiswa dan perkerja paruh waktu, tetapi mempunyai istri yang akan melahirkan, dapat mengajukan bantuan biaya melahirkan di salah satu jawatan pelayanan sosial bertempat di kantor walikota (Shiyakusho) dengan melampirkan laporan pajak tahun sebelumnya, semacam kartu keluarga dan kartu askes. Prosesnya tidak lama cukup 15 menit dan dua minggu berikutkan akan datang surat pemberitahuan ke alamat kita bahwa seluruh biaya melahirkan akan ditanggung oleh jawatan itu, kita hanya akan membayar maksimum 75 ribu yen. Jadi dari biaya sekitar 400 ribu yen melahirkan normal atau 250 ribu biaya operasi cesar, dengan bantuan itu kita hanya membayar maksimal 75 ribu yen.

Pada kasus kelahiran anak pertama saya, karena mendapatkan bantuan biaya melahirkan tsb, begitu keluar rumah sakit saya hanya membayar 3 ribu yen meski si ibu dirawat sekitar 10 hari di rumah sakit. Amazing, 3 ribu yen setara kira-kira 250 ribu rupiah biaya operasi cesar di rumah sakit propinsi yang kamar inapnya layaknya tinggal di hotel berbintang.

Pada kelahiran anak kedua tahun 2007, saya sudah bukan lagi mahasiswa, visa saya sebagai peneliti adalah visa profesor. Saat itu sebagai pegawai baru berkeluarga dengan anak satu saya mengajukan fasilitas pemotongan pajak penghasilan. Alhamdulillah disetujui, sehingga laporan pajak saya nol yen. Artinya, dianggap sebagai orang tak berpenghasilan tetap sehingga tak perlu membayar pajak meski penghasilan peneliti termasuk lebih tinggi dari karyawan perusahaan biasa. Saat itu kami mendapatkan fasilitas bantuan biaya melahirkan juga, sehingga hanya membayar 5 ribu yen saat keluar rumah sakit. Alhamdulillah.

Cukupkah sampai disitu fasilitasnya? Tidak. Sebagai peserta asuransi kesehatan nasional, setiap anak yang lahir, orang tuanya diberikan hadiah atau lumpsum sebesar 300 ribu yen yang diterima sebulan setelah melahirkan. Artinya, sudah dibantu biaya melahirkannya, juga diberi bonus 300 ribu yen (sekitar 25 juta rupiah kurs saat ini).

Masih ada lagi. Untuk ibu yang melahirkan bayi, maka pemerintah jepang memberikan hadiah khusus untuk si ibu. Yaitu jika melahirkan anak pertama dapat bonus 20 ribu yen, anak kedua 50 ribu yen dan anak ketiga 200 ribu yen. Hadiah untuk ibu melahirkan ini saya kira dibuat untuk mendorong orang jepang agar mau menambah anak. Bukankan jepang menghadapi masalah dengan kurangnya angka kelahiran?

Jadi nampaknya, melahirkan anak bukan keluar biaya banyak, tapi malah menambah penghasilan dari bonus-bonus. Di sini, kelahiran anak benar-benar menggembirakan secara psikologis, juga secara finansial, kita tak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit malah untung berlipat-lipat jika dikonversi dalam rupiah.

Oh yah, saat anak ketiga kami lahir 2 bulan lalu, saya tak boleh lagi mengajukan permohonan bantuan biaya melahirkan, karena laporang pajak tahun lalu menunjukkan penghasilan saya dianggap cukup besar dan mampu menghadapi kelahiran. Waktu keluar rumah sakit, biaya melahirkan kami bayar sekitar 230 ribu yen, dan biaya perawatan bayi selama 10 hari sekitar 47 ribu yen. Setelah keluar rumah sakit kami menerima bonus 350 ribu yen dari askes dan 200 ribu yen bonus untuk kelahiran anak ketiga, total 550 ribu yen. Masih surplus khan? Aneh memang negara ini tapi nyata, melahirkan kok malah dapat income.

Tapi untuk si bayi kita tak perlu mikir. Karena aturan pemerintah jepang, kalau tak salah anak sampai umur lima tahun, seluruh biaya rumah sakit diganti 100 persen oleh pemerintah daerah/kota. Caranya, yaitu 80% biaya rumah sakit dipotong langsung oleh rumah sakit karena ditanggung oleh pemerintah. Saat keluar rumah sakit atau berobat atau periksa dokter, kita hanya membayar 20%nya saja. Dari 20% tersebut, 2 bulan kemudian akan diganti 70% oleh askes dan 30% sisanya oleh pemerintah kota kita berdomisili.

Jadi saat melahirkan kita hanya membayar komponen biaya bersalin sedangkan biaya perawatan bayi tak bayar sama sekali.

Selanjutnya selanjutnya setiap bulan untuk setiap anak mendapat jatah 10 ribu yen untuk pembeli susu. Begitu lahir, bayi sudah punya gaji 10 ribu yen. Weleh weleh, tambah lagi penghasilan orang tua.

Itulah sekelumit kisah enaknya keluarga yang melahirkan anak di negeri jepang. Fasilitas rumah sakit terbaik didapatkan, bahkan dapat bonus 25 juta rupiah untuk anak pertama dan sekitar 45 juta rupiah untuk anak ketiga.

Inilah negara kafir yang mampu mengelola pajak rakyatnya untuk meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Akhirnya pajak-pajak penghasilan yang kita bayarkan setiap bulan dan pajak belanja 5% dari nilai belanjaan kembali kepada kita sekalian dalam bentuk lain. Sekedar catatan, dengan penghasilan tahun lalu, saya membayar pajak untuk setahun sekitar 140 ribu yen dan premi asurasi setahun sekitar 180 ribu yen. Peningnya kepala saat bayar pajak terobati dengan pelayanan, keringanan biaya, dan bonus-bonus saat kelahiran anak.

Semoga bermanfaat, dan dapat diambil pelajaran bagaimana pemerintah daerah kita mengelola anggaran agar dapat meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Mengapa kita tak bisa menciptakan sistem jaminan sosial yang baik?

Tuesday, August 19, 2008

Masalah Jepang peluang kerja bagi kita

Saat ini negara-negara maju menghadapi masalah dengan pertambahan penduduknya. Negara jepang misalnya, laju pertumbuhan penduduknya hampir minus sementara usia hidup rata-ratanya semakin tinggi. Artinya orang lanjut usia makin banyak tapi generasi umur produktifnya terus menurun. Akibatnya mereka mengalami kekurangan angkatan kerja. Kehidupan yang mapan menyebabkan banyak pasangan memutuskan tak ingin mempunyai anak, kalaupun memiliki anak dengan jumlah terbatas, satu atau dua. Alasannya, anak dapat mengganggu konsentrasi mengejar karir, juga karena begitu tingginya standar hidup sehingga kehadiran anak menyebabkan bertambahnya beban keluarga jepang terutama untuk pendidikan. Secara kumulatif, mereka menghadapi masalah besar yaitu banyak sektor-sektor yang kesulitan mendapatkan pekerja produktif seperti industri manufaktur, konstruksi, perikanan, dan kesehatan.

Akibat tingginya tingkat kemakmuran dan standar hidup masyarakat jepang, maka generasi mudanya sudah mulai terlena dengan budaya konsumtif, fashion, dan bersenang-senang. Dengan kondisi seperti ini, jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar dan dengan kesulitan tinggi kesulitan peminat. Generasi muda jepang menghindari pekerjaan-pekerjaan jenis ini.

Hal lain, karena banyaknya peluang kerja di sektor-sektor industri maka mayoritas lulusan S1 langsung memutuskan untuk bekerja. Padahal jepang sebagai negara miskin sumberdaya alam perlu terus-menerus berada di jalur persaingan ilmu dan teknologi sehingga dapat terus menjaga eksistensinya dalam penguasaan atas pasar dunia produk-produk berbasis teknologi tinggi. Untuk itu mereka membutuhkan peneliti-peneliti handal di berbagai bidang yang dapat bekerja mengisi pos-pos peneliti di universitas maupu lembaga-lembaga riset pemerintah dan swasta. Biasanya peneliti ini diambil dari lulusan S3. Dengan banyaknya lulusan S1 maupun S2 yang langsung bekerja di perusahaan maka jumlah mahasiswa S3 sebagai calon peneliti makin berkurang. Bahkan mahasiswa-mahasiswa briliannya pun bisa langsung memutuskan masuk perusahaan karena tadi mereka pingin hidup enak dengan gaji besar tapi tak perlu terlalu banyak mikir seperti para peneliti.

Saya sering nanya mahasiswa-mahasiswa tahun keempat yang masuk laboratorium kami sebagai syarat membuat skripsi, apakah mereka mau melanjutkan ke jenjang S2 atau S3. Jawabannya rata-rata ingin segera kerja karena tak mau capek-capek jadi peneliti yang harus terus berpikir mencari ide-ide baru dalam mengembangkan penelitiannya dan mesti membaca sebanyak mungkin publikasi-publikasi ilmiah internasional sesuai bidangnya. Mereka rata-rata menghindar menjadi peneliti. Ini sangat mungkin karena pada tahun keempat sebelum lulus mereka sudah dapat mengikuti tes dan interview di perusahaan2. Perusahaan-perusahaan jepang memang membuka lowongan buat lulusan-lulusan baru S1 pada tahun keempat dan lulusan S2 pada tahun kedua masa dari masa studinya. Jadi sebelum lulus kuliah mereka sudah tahu bisa kerja atau tidak. Umumnya lulusan S1 yg belum lulus tes kerja memutuskan untuk kuliah S2 demi menjaga peluang mereka mengikuti bursa kerja melalui kampus. Biasanya saat S2 mereka yang tak dapat kerja saat lulus S1 dapat terjaring di perusahaan. Kondisi paling buruk adalah mereka bekerja tak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Nah dari masalah-masalah yang diuraikan di atas, sebetulnya merupakan peluang sangat besar bagi tenaga kerja dari negara lain untuk mengisinya. Hanya saja masuknya tenaga kerja asing dengan paspor kerja secara besar-besaran terkendala oleh aturan ketenagakerjaan jepang yang melarang impor tenaga kerja dari luar.

Demi mengatasi kelangkaan tenaga kerja di jepang, terutama perusahaan-perusahaan kecil menengah, dan juga untuk menyiasati aturan ketenagakerjaan, maka disiasai dengan mengadakan progran pelatihan/training pekerja dari indonesia yang ditempatkan di perusahaan-perusahaan jepang. Program ini sudah berjalan puluhan tahun. Depnaker tiap-tiap daerah merekrut para trainer tsb. Sebetulnya program ini adalah program akal-akalan UKM jepang untuk mendapatkan tenaga kerja murah dari negara-negara asia seperti indonesia, vietnam, bangladesh, filipina, cina, dll, serta negara-negara amerika latin. Mengapa disebut akal-akalan? Karena para pekerja ini mengerjakan pekerjaan layaknya pekerja reguler bahkan dengan beban yang lebih berat daripada pekerja jepang sendiri, tetapi digaji jauh dibawah standar gaji jepang sekitar 80 ribu yen sebulan. Padahal gaji pekerja level terendah di perusahaan adalah sekitar 170 ribu yen per bulan. Belum termasuk bonus-bonus jika target perusahaan tercapai. Mengapa bisa seperti itu? Visa para trainer tsb berhubungan dengan pendidikan sehingga upah yang diterima tidak termasuk dalam kategori gaji dalam aturan jepang, sehingga dapat diupah jauh dibawah upah minimum. Aturan penggajian di jepang sangat ketat mengatur jam kerja dan upah. Perusahaan yang membayar karyawannya di bawah nilai aturan yang ditentukan, akan kena denda, pidana bahkan ditutup. Karena mereka tak masuk dalam status visa kerja maka banyak hal yang menimbulkan kesulitan bagi para trainer, seperti kecelakaan kerja, perlakuan buruk dari perusahaan, menderita sakit, kerja overtime, dll.

Untuk bidang kesehatan, pemerintah jepang kekurangan tenaga medis seperti perawat rumah sakit dan perawat/pelayan orang lanjut usia. Rumah sakit jepang membutuhkan pelayanan prima. Pasien di rumah sakit membayar mahal setiap pelayanan dan perawatan sehingga peran perawat sangat penting untuk melayani pasien. Apalagi pasien2 tertentu seperti stroke dan penyakit ketuaan yang membutuhkan perawatan khusus. Orang-orang lanjut usia pun biasanya tinggal mandiri sehingga peran perawat pribadi sangat diperlukan. Pos ini selama ini banyak diisi oleh perawat dari Filipina, Vietnam, Cina yang diberi pelatihan khusus. Pemerintah jepang juga sudah bekerjasama dengan pemerintah indonesia untuk mendatangkan perawat dari Indonesia. Tahun ini sudah ada angkatan pertama rombongan perawat indonesia yang masuk jepang. Ini merupakan salah satu peluang bagi perawat terampil dari negara kita yang sudah mulai banyak terjadi pengangguran tenaga perawat. Sebagai tenaga kerja terampil mereka digaji cukup layak sekitar 200 ribu sampai 300 ribu yen.

Untuk bidang pendidikan dan penelitian, ada pemerintah jepang membutuhkan tenaga peneliti yang cukup banyak untuk mengisi posisi-posisi kosong di universitas dan lembaga-lembaga riset. Mahasiswa S3 yang dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah orisinil sangat penting bagi unviersitas. Nah, keengganan sebagian mahasiswa jepang untuk bersusah payah sekolah sampai tingkat doktor, membuka peluang bagi masuknya mahasiswa-mahasiswa asing untuk bersekolah di jepang terutama tingkat master dan doktor. Karenanya, cukup banyak model beasiswa dari pemerintah jepang maupun swasta untuk menarik sebanyak-banyaknya mahasiswa asing masuk. Cina, korea, indonesia, bangladesh, dan india adalah negara-negara pemasok utama terbesar mahasiswa asing ke Jepang terutama di bawah program departemen pendidikan, budaya, olahraga, sains dan teknologi jepang (Monbukagakusho dulu disebut Monbusho). Mahasiswa-mahasiswa asing tsb diharapkan dapat membantu meningkatkan level universitas dengan publikasi ilmiah internasional dan paten, juga nantinya diharapkan dapat bekerja di jepang dalam jangka waktu tertentu. Oleh karenanya banyak alumni-alumni universitas jepang yang bekerja dulu beberapa tahun sebelum pulang ke tanah airnya, sebagai karyawan perusahan, peneliti postdoktor, atau bahkan sebagai mereka yang mempunyai kemampuan bahasa jepang yang sangat baik dapat menjadi dosen kontrak. Upaya ini nampaknya adalah cara jepang mengatasi kekurangan tenaga peneliti agar jepang tetap dapat bersaing dalam sains dan teknologi.

Prosedur mendapatkan visa tinggal di jepang memang sangat ketat, tetapi pemerintah jepang sangat mudah memberikan visa tinggal untuk orang asing alumni jepang agar mereka dapat bekerja di jepang demi menutupi kebutuhan tenaga kerja terdidik. Saya sendiri setelah lulus pendidik doktor Oktober 2005 lalu, langsung ditawari bekerja sebagai peneliti di Research Center for Development of Far-Infrared Region, University of Fukui, tanpa prosedur berbelit. Karena saya kebetulan alumni universitas ini. Hanya dengan kesediaan lisan, tak perlu harus mengajukan banyak dokumen lamaran seperti layaknya melamar jadi dosen di indonesia, status sebagai postdoctoral researcher langsung disetujui oleh universitas. Begitu pulang dari berlibur awal November 2005 langsung bergabung. Alhamdulillah kontrak kerja terus diperbaharui sampai dengan akhir Maret 2009. Dengan gaji standar untuk kalangan menengah jepang, tentu saja sulit untuk menolaknya. Apalagi jika dibandingkan dengan penghasilan sebagai PNS di Indonesia. Pengurusan visa untuk istri dan anak-anak sangat-sangat mudah bahkan gratis. Ini memberi gambaran bahwa pemerintah jepang sebetulnya sangat membutuhkan tenaga kerja terdidik.

Bagi saya, cara paling baik untuk bekerja di jepang adalah dengan melamar masuk universitas jepang. Jika bisa tembus masuk baik melalui beasiswa maupun biaya sendiri, maka pintu sudah terbukan untuk dapat bekerja di jepang dengan penghasilan yang berlipat-lipat dibandingkan dengan di indonesia. Sebagain dari gaji dapat ditabung sebagai bekal untuk bisa mandiri di indonesia.

Semoga bermanfaat.

Thursday, July 31, 2008

Bagaimana rasanya orang buta huruf?

Waktu datang ke Jepang, saat itu saya datang sendirian. Terbang dari Denpasar ke Nagoya kalau ndak salah tanggal 3 Oktober 2002 dini hari jam 00:30 waktu bali. Landing di Nagoya pagi hari kira-kira jam 6:30. Cukup deg-degan juga karena hanya membawa informasi tentang jalur bis atau kereta ke dari Nagoya ke Fukui. Menurut senior saya yang baru pulang dari jepang, sebagai orang baru mending pilih jalur bus saja. Karena kalau kereta waktu singgah antar stasiun singkat sekali, kalau ketiduran bisa bablas (kelewatan). Akhirnya saya mantap pilih jalur bus.

Waktu turun dari pesawat, begitu keluar dari pemeriksaan imigrasi, sudah mulai bingung. Karena tulisan-tulisan yang terpampang dalam bahasa jepang. Saya sendiri berangkat dengan kemampuan nol dalam bahasa jepang. Mau nanya jalur bus ke Fukui. Tidak seperti di Indonesia begitu anda keluar bandara atau stasiun pasti banyak calo yang datang menawarkan jasa taksi, bus, carteran atau ojek. Nah saya bengong sendiri, suasana luar bandara begitu sepi tak ada yang mangkal untuk sekedar menawarkan jasa termasuk penipu.

Akhirnya saya putuskan bertanya pada bagian informasi dekat pintu keluar. Saya nanya bahasa inggris nggak ngerti juga dia. Saya sebut kota Fukui pun dia nggak ngerti. Entahlah karena dia tidak ngerti apa yang saya omongkan. Setelah saya sodorkan jalur bus, di situ telah tertulis nama stasiun bus yang harus saya tuju dari bandara untuk menuju Fukui. Akhirnya mereka ngerti juga lalu saya diantar di depan halte bus. Haltenya hanyala satu tiang berdiri di atasnya ada selembar papan berbentuk lingkaran. Di situ tertulis jadwal kedatangan bus. Ada seorang satpam bandara yang dengan penuh perhatian dia membantu saya menunggu bus untuk memastikan bahwa saya benar-benar naik bus yang tepat.

Selanjutnya saya harus membeli tiket bus pada mesin tiket. Di situ tertera nama stasiun yang dituju dan tarifnya. Dengan bantuan sang satpam tadi saya mendapatkan selembat tiket. Pada jam dan menit yang tertera di papan halte, datanglah bus yang dimaksudkan. Penumpang yang naik tak lebih dari lima orang. Sang satpam membisikkan sesuatu pada sang sopir. Saya benar-benar merasa seperti nenek saya dulu yang buta huruf dan juga tidak bisa ngomong bahasa indonesia. Di jepang ini saya tak bisa baca juga tak bisa ngomong. Tahulah saya bagaimana perasaan seorang buta aksara dan lagi tak bisa bahasa indonesia. Untung jumlah uang masih menggunakan angka biasa.

Sekitar 45 menit perjalanan dengan bus, sampailah saya di stasiun bus Meitetsu Nagoya. Bus berhenti menurunkan penumpang. Saat saya akan turun, sang sopir ngomong sesuatu ditambah bahasa isyarat yang saya artikan bahwa saya tak usah turun. Rupanya sang sopir mengantar saya langsung di depan loket tiket Nagoya-Fukui, juga tempat keberangkatan bus. Sebetulnya penumpang datang harus turun di lantai satu, dan terminal keberangkatan berada di lantai dua. Akhirnya sampai juga saya ke depan loket. Lalu saya minta beli tiket ke Fukui. Lega juga, akhirnya saya tinggal menunggu di halte yang dengan nomor tertentu untuk ke Fukui.

Saat itu hawa sudah mulai dingin. Rasa lapar sudah mulai singgah. Menurut informasi dari kawan saya bahwa di jepang hampir semua mananan haram termasuk roti-rotian apalagi daging dan ayam dipastikan haram. Karena tak disembelih dengan cara islami. Mereka main geret saja yang penting mati. Atau pake mesin pemotong. Lalu saya putuskan untuk beli minuman yang manis saja, dengan merek yang juga dijual di indonesia. Belinya cukup di mesin, masukkan koin, dan pilih minuman yang dikehendaki. Lalu ambil minuman dan kembaliannya. Saya putuskan beli Pocari sweet, minuman pengganti cairan tubuh, seperti diiklankan di tivi indonesia.

Cukup segar minumannya, karena mesinnya dilengkapi pendingin. Saya menunggu di ruang tunggu, seorang diri orang asing. Orang-orang jepang pada sibuk dan necis. Sambil nunggu mereka punya kebiasaan membaca buku, ukurannya mungil. Belakangan saya tahu biasanya novel atau cerita fiksi-fiksi lain. Memang jepang termasuk produktif menghasilkan buku-buku bacaan untuk warganya. Karena budaya baca merupakan kebiasaan saat senggang, entah di ruang tunggu, halter, dalam kereta, bahkan dalam wc sekalipun sebagian orang di lab. saya bekerja juga membaca buku. Tentu saja bagi umat islam membaca dimana saja boleh kecuali dalam WC.

Umumnya orang jepang di tempat-tempat umum seperti stasiun, cuek dan sibuk sendiri. Gadis-gadis muda jepang biasanya mengeluarkan alat rias berupa cermin kecil, terutama membenahi bulu mata palsu yang dipasangkan pada matanya agar bulu matanya kelihatan lebat dan lentik. Atau membubuhkan semacam pinsil penghitam pada garis mata dibuat agak melebar agar ada kesan matanya lebih lebar. Maklum mata orang jepang sipit dan sedikit bulu. Mereka justru ingin bermata lebar dan berbulu lentik. Sebagian orang jepang, terutama nenek-nenek terkesan menghindar berdekatan dengan orang asing. Jika terpaksa berdekatan mereka terkesan tak nyaman. Belakangan baru tahu bahwa banyak orang jepang percaya bahwa pelaku-pelaku kriminal utamannya orang asing. Apalagi orang asing dari Asia. Oh yah, orang asing bule bagi mereka justru dipuja, sama seperti di indonesia juga. Meski di negara asalnya mereka termasuk orang kere.

Saat naik bus saya duduk berdampingan dengan pak tua. Dia nampaknya orang Fukui. Busnya nyaman, pake AC, tidak ada ngamen, tidak ada yang berdiri, pokoknya privasi dalam perjalanan begitu terjamin. Pak tua di samping saya kebetulan orangnya baik. Dia terus saja ngerocos ngomong, saya tak ngerti tapi dia terus saja ngobrol. Akhirnya saya putuskan tidur karena berisik juga. Tiba-tiba bus singgah di suatu tempat. Banyak bus dan juga mobil-mobil berhenti. Pikiran saya, busnya sudah sampai Fukui. Tapi koq sekitarannya masih hutan-hutan? Apa Fukui memang masih lebih sepi dari Kendari?

Begitu semua turun, pak tua turun, saya diajak juga. Saya segera meraih tas bawaan, tapi dia dengan isyarat melarang saya. Ternyata orang-orang tadi turun menuju toilet untuk sekedar buang air kecil atau besar. Nah saya juga ikutan kebetulan mau pingin pipis. Setelah pipis bingung juga karena tak ada tempat cebo'. Padahal selepasnya saya pingin wudhu untuk shalat. Dalam keadaan bingung, saya lihat begitu orang meninggalkan tempat pipisnya secara otomatis air keluar membasunya. Nah ada akal. Saya mundur sedikit, airnya langsung keluar membasuh tempat pipis. Lalu saya ambil airnya pake tangan kiri untuk membersihkan diri. Orang jepang yang pipis di samping saya kelihatan heran dan kikuk dengan kelakuan saya. Cuek saja yang penting bisa memenuhi aturan syariat.

Begitu keluar dari toilet, pak tua sudah menunggu saya rupanya bus akan berangkat lagi. Tempat ini memang belum Fukui. Belakangan saya tahu namanya 'Rest area'. Biasanya rest area ini ada di jalur tol. Untuk memberikan tempat bagi pengemudi untuk beristirahat sejenak. Entahlah apakah ada aturannya atau tidak, nampaknya orang jepang begitu teratur menggunakan rest area. Jika melakukan perjalanan jauh misalnya 8 jam perjalanan. Kebetulan kami sering bepergian menggunakan mobil dengan anggota lab jika pergi seminar di kota lain. Setiap periode dua atau dua setengah jam, kami selalu singgah di rest area. Selama lima sampai sepuluh menit lalu berangkat lagi. Warga jepang memang begitu teratur. Istirahat setiap dua jam tsb akan membantu menjaga kebugaran pengemudi.

Kira-kira jam 15:30 tibalah saya di stasiun Fukui. Oh yah berangkat jam 11:20. Sudah ada mahasiswa S2 di lab tempat saya belaja yang menjemput saya. Saat di Nagoya Airport saya menelepon dulu ke profesor saya di Fukui, bahwa saya sudah di Nagoya. Dia akan menunggu saya di Fukui saja. Barang-barang saya diangkut naik mobil sang mahasiswa. Lalu dipertemukan dengan profesor untuk berkenalan. Setelah semua beres saya diantar ke apartemen untuk mahasiswa asing. Kemudian diantar belanja berbagai kebutuhan untuk dapur dan juga perabotan. Yang paling penting adalah kasur dan selimut disebut futong. Kasurnya tipis, kira-kira 1/2 dari tebal kasus dari kapas yang dijual untuk mahasiswa. Belanja kebutuhan dapur cukup di toko 100 yen namanya. Di situ semua barang harganya 100 yen mulai dari sendok piring sampai alat tulis menulis, bahkan alat sepeda, kunci-kunci, obeng, komplitlah. Setelah belanjanya cukup, kami pindah ke supermaket besar untuk beli rice cooker, panci dll. Lengkaplah sudah, tinggal makanan, beras sudah beli. Tinggal lauknya. Masih ada indomie kebetulan saya bawa dari indonesia. Lalu teman mahasiswa tadi pulang. Sudah hampir magrib. Saya tinggal di kamar sampai keesokan harinya. Ternyata tetangga kanan kiri saya orang Indonesia, dari Aceh dan Surabaya. Ada juga muslim dari India, dari daerah Tamil Nadu. Lengkaplah bisa ngomong bahasa Indonesia kapan saja, makan bersama. Kondisi psikologis meninggalkan tanah air sudah mulai agak pulih. Karena ada teman Indonesia. Apalagi setelah tiba masa shalat, kami shalat berjamaah menggunakan salah satu ruang kosong di apartemen. Lengkaplah sudah bekal untuk menghadapi masa-masa sulit memulai riset untuk pendidikan S3.

Demikian kisah perjalanan 6 tahun lalu semoga ada manfaatnya.