Thursday, October 9, 2008

Kemilau Emas indonesia Timur

Investor lokal dan asing rame-rame menyerbu kawasan Indonesia timur. Papua, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara akan menjadi daerah pusat pertumbuhan baru di kawasan itu. Infrastruktur masih menjadi masalah.

ANGIN segar berembus dari Jazirah Arab memasuki wilayah Indonesia. Konglomerasi Arab Saudi, Bin Ladin, berencana masuk ke sektor agrobisnis dengan menanam padi seluas 500 ribu hektare di Merauke, Papua. Tidak hanya di Papua, konglomerat Arab Saudi ini tertarik menanam padi seluas 80 ribu hektare di Sulawesi Tenggara.

Total duit yang hendak ditanamkan di kedua provinsi itu tergolong jumbo, yakni US$ 4,3 miliar atau sekitar Rp 40 triliun, hampir separuh defisit anggaran Indonesia. ”Mereka akan melakukan studi kelayakan akhir September ini,” kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta pertengahan September lalu.

Rencana Bin Ladin Group menambah riuh investor yang akan mencoba peruntungan berbisnis di Indonesia timur, terutama Papua Barat. Sebelumnya, sudah ada sembilan investor lokal yang menyatakan minat berinvestasi di sektor agrobisnis (tanaman pangan dan perkebunan kelapa sawit) serta sektor energi di provinsi yang dulu bernama Irian Jaya ini.

Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat, investor yang tertarik masuk Papua antara lain Medco milik Arifin Panigoro, Kelompok Usaha Bangun Cipta Sarana (Siswono Yudohusodo), Sinar Mas Group (Eka Tjipta Widjaja), kelompok Artha Graha (Tomy Winata), Grup Rajawali (Peter Sondakh), dan Benua Biru Nusa (Hidayat). ”Investasi di sana menjanjikan. Luas tanah di sana sangat memadai dan cuacanya mendukung,” katanya.

Sofyan Panigoro, adik Arifin Panigoro, membenarkan bahwa perusahaannya sudah punya bisnis di Papua. ”Prospek sektor perkebunannya bagus,” katanya kepada Muchamad Nafi dari Tempo. Petinggi Grup Rajawali, Daryoto Setiawan, menambahkan, Grup Rajawali memang akan membuka area perkebunan sawit di Keerom (lihat ”Di Bawah Kuasa Para Raja”).

Ibarat magnet, daya tarik Indonesia timur, terutama Papua Barat, kian kuat. Sumber daya berlimpah, dari perkebunan, pertanian, perikanan, hingga pertambangan. Secara geografis, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua juga sangat dekat dengan pasar potensial seperti Filipina, Jepang, Taiwan, Hong Kong, dan Cina. Pendek kata, potensi pengembangan ekonomi di kawasan ini sangat besar dan menjanjikan. ”Indonesia timur sangat penting bagi para pengusaha,” kata Hidayat.

Sejauh ini, para pengusaha telah masuk ke kawasan-kawasan tradisional di timur, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku. Para Group (Chairul Tanjung) dan Lippo (Mochtar Riady) mencoba mencicipi legitnya pasar Sulawesi Selatan. Para Group bermitra dengan Grup Kalla membangun pusat hiburan terpadu Trans Studio Resort seluas 12,7 hektare di Tanjung Bunga. Di kawasan yang sama, Lippo Group membangun kota mandiri.

Di Sulawesi Utara, AKR Land Development (grup AKR Corporindo) mengembangkan properti kedua senilai lebih dari Rp 1 triliun. ”Manado menyimpan potensi besar,” ujar Widijanto, Managing Director AKR Land, di Manado awal September lalu.

Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi, Papua, Sulawesi tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara akan bersaing dengan Riau, Bengkulu, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat memperebutkan investasi. ”Setiap daerah punya daya tarik tersendiri,” ujarnya dari Moskow dua pekan lalu. Sulawesi Tengah bisa menjadi pusat industri petrokimia baru. Gorontalo dengan jagung dan tebunya menarik untuk industri etanol.

Sayang seribu sayang, di tengah tingginya minat pengusaha menggerojokkan duit, infrastruktur masih saja menjadi pengganjal utama. Jalan minim, begitu juga pelabuhan, apalagi listrik dan air baku. Di Jawa, kata ekonom Faisal Basri, listrik jarang padam. Tapi di Indonesia timur pemadaman listrik seperti minum obat, tiga kali sehari. ”Selama infrastruktur terbatas, investasi sulit masuk.”

Penyediaan fasilitas infrastruktur semakin rumit karena terbatasnya anggaran pemerintah pusat. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008, total anggaran infrastruktur sekitar Rp 53 triliun. Tujuh puluh persen dialokasikan bagi pembangunan infrastruktur di luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

Namun, menunggu pemerintah merealisasi anggaran infrastruktur ibarat menunggu Godot. Alhasil, para pengusaha mencoba berinisiatif membangun infrastruktur sendiri. Kini mereka sedang berembuk memutuskan skemanya. Salah satunya, konsorsium investor membangun infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia lebih dulu. Setelah ini rampung, pemerintah mengkompensasinya (set off) dengan kewajiban-kewajiban pengusaha kepada negara, misalnya pembayaran pajak. ”Skema ini sudah disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” kata Hidayat.

Menurut Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Infrastruktur Bambang Susantono, skema set off baru bisa diberikan jika pembangunan infrastruktur ada di kawasan ekonomi khusus (special economic zone). ”Di luar kawasan itu, skema set off tak bisa dilakukan,” katanya.

Tapi, kata Bambang, investor tak perlu khawatir kendati di Indonesia timur belum ada kawasan ekonomi khusus. Sebab, pemerintah sesungguhnya telah memberikan insentif perpajakan bagi penanaman modal di daerah tertentu, termasuk Indonesia timur.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007, investor akan mendapat keringanan pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari total investasi (tax allowance) selama enam tahun. ”Investor juga bisa mendapatkan percepatan penyusutan dan amortisasi.” Bahkan para investor juga berpeluang mendapatkan insentif pembebasan pajak (tax holiday) ”Undang-Undang Investasi sudah mengaturnya,” ujar Lutfi.

l l l

Terbatasnya infrastruktur di Kawasan Timur Indonesia merupakan persoalan klasik. Selama 60 tahun pemerintah pusat condong membangun kawasan barat. Keinginan pemerintah memajukan kawasan timur sebenarnya ada. Pada 3 Desember 1996, Presiden Soeharto membentuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) lewat Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996. Dari sini lahirlah Badan Pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, pengelola 12 kawasan pengembangan di Kawasan Timur Indonesia dan satu kawasan pengembangan di Aceh. Program ini terus berlanjut di zaman Presiden B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Program Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu kelihatannya menjanjikan. Konsepnya mengembangkan sektor unggulan sebagai penggerak utama kawasan yang bertumpu pada prakarsa daerah dan masyarakat, serta memiliki akses pasar. Tujuannya luhur: mempercepat pembangunan ekonomi Kawasan Timur Indonesia. Kawasan pengembangan ini mendapat fasilitas keringanan pajak, kepabeanan, serta kemudahan administrasi dan perizinan.

Ternyata konsep itu hanya bagus di atas kertas. Sepuluh tahun berjalan, kawasan pengembangan belum berhasil menggerakkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia timur. Dari 13 kawasan, hanya lima yang bisa dinilai berhasil, yakni Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Khatulistiwa di Provinsi Kalimantan Barat, Sasamba di Kalimantan Timur, Manado-Bitung di Sulawesi Utara, Parepare di Sulawesi Selatan, dan Biak di Papua.

Menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, lima kawasan pengembangan ekonomi bisa berjalan karena fasilitas infrastrukturnya memadai. Investasi pun bisa masuk. ”Kelima kapet itu masih baik,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo awal September lalu. Tiga kawasan pengembangan ekonomi lainnya hanya sekadar berjalan. Selebihnya tinggal kenangan.

Tempo sempat mengunjungi Kota Luwuk, Senin dua pekan lalu. Udara panas menyapu ibu kota Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, ini. Panasnya sang surya juga terasa di Kantor Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Batui. Kantor bercat putih beratap merah itu sunyi dan lengang. Hampir tak ada aktivitas, hiruk-pikuk, atau celotehan pegawai laiknya di kantor lain.

Dari 32 pegawai, hanya tiga anggota staf badan pengelola kawasan pengembangan yang hadir. Mereka memilih tidur-tiduran di ruangan masing-masing yang berpenyejuk udara. Ruang pelaksana harian dan ruang tiga direkturnya terkunci rapat. Hanya ruang perencanaan program serta ruang bidang promosi dan investasi yang terbuka.

Kepala Bidang Promosi dan Investasi Kusmawati Ponulele mengatakan kinerja Kawasan Pengembangan Batui tak jelek-jelek amat. Proyek pengadaan air bersih pemerintah daerah dua tahun lalu senilai Rp 23 miliar merupakan usul badan pengelola kawasan itu. Proyek pembangunan Pelabuhan Samudra Tangkiang seluas 40 hektare juga sedang memasuki tahap akhir.

Nantinya infrastruktur ini akan berfungsi sebagai pelabuhan bongkar-muat kontainer dan penunjang kegiatan ekonomi di Kawasan Pengembangan Batui. Begitu pula perluasan Bandar Udara Bubung telah mulai dikerjakan. ”Nanti pesawat Boeing-737 bisa mendarat di bandar udara ini,” ujarnya kepada Tempo di Banggai.

Namun, harus diakui, pembangunan infrastruktur berjalan bagai siput. Ketika para investor mengejar peluang mencetak untung, pembangunan infrastruktur justru menjadi penghambat utama. Menurut Ketua Harian Badan Pelaksana Pengembangan Kapet, Djoko Kirmanto, itu pula yang disebutkan tim independen yang mengevaluasi program ini.

Kelembagaan badan pengembangan juga lemah karena posisinya hanya sekadar membantu pemerintah daerah. Gubernur sebagai kepada badan ini hanya memberikan perizinan. Wilayah kawasan pengembangan juga terlalu luas, mencakup beberapa kabupaten. Pengelolaannya pun kurang efektif. ”Kami akan merevitalisasi kawasan pengembangan ini,” kata Djoko. Pak Menteri menjanjikan akhir tahun ini konsep baru kawasan pengembangan ekonomi akan segera dirilis.

Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal Luky Eko Wuryanto mewanti-wanti agar pemerintah tidak mengulang kesalahan masa lalu. ”Masak, di satu provinsi ada satu kawasan pengembangan ekonomi. Lokasinya saja nowhere,” ujarnya. Mengembangkan suatu kawasan pertumbuhan ekonomi tak cukup hanya dengan melihat potensi daerahnya, tapi harus melihat permintaannya atas produk unggulan suatu wilayah.

Kawasan ekonomi khusus (special economic zone), menurut Luky, lebih tepat diterapkan di Indonesia timur ketimbang kawasan pengembangan ekonomi terpadu. Tak perlu semua wilayah di Indonesia timur mendapat status khusus, tapi cukup beberapa wilayah yang infrastruktur dan tenaga kerjanya memadai. Permintaan produknya juga harus tinggi. ”Kawasan pertumbuhan lainnya cukup menjadi hinterland yang memasok barang dan jasa ke kawasan ekonomi khusus itu.” Menurut dia, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara berpotensi menjadi kawasan ekonomi khusus.

Kawasan ekonomi khusus merupakan kawasan yang diproyeksikan menjadi pusat pengembangan bisnis dan industri bagi perusahaan dalam dan luar negeri. Berbagai kemudahan perizinan dan perpajakan diberikan dalam kawasan khusus ini. Infrastruktur pendukungnya juga sangat lengkap. Tujuan pokok kawasan khusus ini menarik investasi sebanyak-banyaknya.

Hidayat sependapat dengan Luky. ”Payung hukum kawasan ekonomi khusus lebih baik,” ujarnya. Tapi Hidayat juga tetap khawatir kawasan khusus yang menjadi cerita sukses di Cina akan sulit diterapkan di Indonesia timur. Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun saja sudah dua tahun tidak berjalan mulus.

Pemerintah sebetulnya juga sudah punya rancangan perbaikan. Bambang Susantono memberikan gambaran. Beberapa kawasan pengembangan ekonomi terpadu di Indonesia timur yang belum punya infrastruktur memadai akan dikembangkan lewat mekanisme pembangunan daerah tertinggal. Adapun kawasan pengembangan yang sudah siap menjadi pusat pertumbuhan baru akan menjadi kawasan ekonomi khusus.

Tapi Faisal Basri mengkritik konsep kawasan ekonomi khusus ala Cina. Negara komunis itu menerapkan konsep ini karena belum bisa terbuka seratus persen. Sedangkan Indonesia sudah terbuka dari dulu, termasuk soal transaksi valuta asing. ”Ngaco. Kenapa harus dibuat kawasan-kawasan?” ujarnya.

Dia menegaskan, Indonesia tak perlu banyak membuat kawasan ekonomi khusus lantaran daerah pertumbuhan dan industri yang ada sudah banyak mendapat insentif. Kawasan ekonomi khusus, kata dia, juga lebih menguntungkan orang asing ketimbang masyarakat Indonesia. ”Itu mental penjajah. Utamakan warga kita. Itu yang harus direformasi.”

Padjar Iswara, Bunga Manggiasih, Muhammad Darlis (Palu)

Sumber: Tempointeraktif.com

Realisasi Investasi Dalam Negeri (Miliar Rupiah)

TahunSulawesiMalukuPapuaJawaSumateraKalimantan
2003275,51,3-9.9171.585419
2004164,4-5457.8861.4315.142
20055090,94314.79413.5021.748
200668,60,240413.0304.6442.536
20073.881,6--17.75710.3621.039

Realisasi Investasi Asing (Juta Dolar AS)

Tahun SulawesiMaluku Papua Jawa Sumatera Kalimantan
2003 266,6 - 4,1 4.515 502 138
2004 27,4 - - 3.248 851 368
2005 145,3 9,1 - 7.251 1.225 181
2006 15,5 20 0,6 4.412 883 534
2007 63,6 - 2,4 7.324 902 203

SUMBER: BKPM

No comments: