Thursday, July 31, 2008

Bagaimana rasanya orang buta huruf?

Waktu datang ke Jepang, saat itu saya datang sendirian. Terbang dari Denpasar ke Nagoya kalau ndak salah tanggal 3 Oktober 2002 dini hari jam 00:30 waktu bali. Landing di Nagoya pagi hari kira-kira jam 6:30. Cukup deg-degan juga karena hanya membawa informasi tentang jalur bis atau kereta ke dari Nagoya ke Fukui. Menurut senior saya yang baru pulang dari jepang, sebagai orang baru mending pilih jalur bus saja. Karena kalau kereta waktu singgah antar stasiun singkat sekali, kalau ketiduran bisa bablas (kelewatan). Akhirnya saya mantap pilih jalur bus.

Waktu turun dari pesawat, begitu keluar dari pemeriksaan imigrasi, sudah mulai bingung. Karena tulisan-tulisan yang terpampang dalam bahasa jepang. Saya sendiri berangkat dengan kemampuan nol dalam bahasa jepang. Mau nanya jalur bus ke Fukui. Tidak seperti di Indonesia begitu anda keluar bandara atau stasiun pasti banyak calo yang datang menawarkan jasa taksi, bus, carteran atau ojek. Nah saya bengong sendiri, suasana luar bandara begitu sepi tak ada yang mangkal untuk sekedar menawarkan jasa termasuk penipu.

Akhirnya saya putuskan bertanya pada bagian informasi dekat pintu keluar. Saya nanya bahasa inggris nggak ngerti juga dia. Saya sebut kota Fukui pun dia nggak ngerti. Entahlah karena dia tidak ngerti apa yang saya omongkan. Setelah saya sodorkan jalur bus, di situ telah tertulis nama stasiun bus yang harus saya tuju dari bandara untuk menuju Fukui. Akhirnya mereka ngerti juga lalu saya diantar di depan halte bus. Haltenya hanyala satu tiang berdiri di atasnya ada selembar papan berbentuk lingkaran. Di situ tertulis jadwal kedatangan bus. Ada seorang satpam bandara yang dengan penuh perhatian dia membantu saya menunggu bus untuk memastikan bahwa saya benar-benar naik bus yang tepat.

Selanjutnya saya harus membeli tiket bus pada mesin tiket. Di situ tertera nama stasiun yang dituju dan tarifnya. Dengan bantuan sang satpam tadi saya mendapatkan selembat tiket. Pada jam dan menit yang tertera di papan halte, datanglah bus yang dimaksudkan. Penumpang yang naik tak lebih dari lima orang. Sang satpam membisikkan sesuatu pada sang sopir. Saya benar-benar merasa seperti nenek saya dulu yang buta huruf dan juga tidak bisa ngomong bahasa indonesia. Di jepang ini saya tak bisa baca juga tak bisa ngomong. Tahulah saya bagaimana perasaan seorang buta aksara dan lagi tak bisa bahasa indonesia. Untung jumlah uang masih menggunakan angka biasa.

Sekitar 45 menit perjalanan dengan bus, sampailah saya di stasiun bus Meitetsu Nagoya. Bus berhenti menurunkan penumpang. Saat saya akan turun, sang sopir ngomong sesuatu ditambah bahasa isyarat yang saya artikan bahwa saya tak usah turun. Rupanya sang sopir mengantar saya langsung di depan loket tiket Nagoya-Fukui, juga tempat keberangkatan bus. Sebetulnya penumpang datang harus turun di lantai satu, dan terminal keberangkatan berada di lantai dua. Akhirnya sampai juga saya ke depan loket. Lalu saya minta beli tiket ke Fukui. Lega juga, akhirnya saya tinggal menunggu di halte yang dengan nomor tertentu untuk ke Fukui.

Saat itu hawa sudah mulai dingin. Rasa lapar sudah mulai singgah. Menurut informasi dari kawan saya bahwa di jepang hampir semua mananan haram termasuk roti-rotian apalagi daging dan ayam dipastikan haram. Karena tak disembelih dengan cara islami. Mereka main geret saja yang penting mati. Atau pake mesin pemotong. Lalu saya putuskan untuk beli minuman yang manis saja, dengan merek yang juga dijual di indonesia. Belinya cukup di mesin, masukkan koin, dan pilih minuman yang dikehendaki. Lalu ambil minuman dan kembaliannya. Saya putuskan beli Pocari sweet, minuman pengganti cairan tubuh, seperti diiklankan di tivi indonesia.

Cukup segar minumannya, karena mesinnya dilengkapi pendingin. Saya menunggu di ruang tunggu, seorang diri orang asing. Orang-orang jepang pada sibuk dan necis. Sambil nunggu mereka punya kebiasaan membaca buku, ukurannya mungil. Belakangan saya tahu biasanya novel atau cerita fiksi-fiksi lain. Memang jepang termasuk produktif menghasilkan buku-buku bacaan untuk warganya. Karena budaya baca merupakan kebiasaan saat senggang, entah di ruang tunggu, halter, dalam kereta, bahkan dalam wc sekalipun sebagian orang di lab. saya bekerja juga membaca buku. Tentu saja bagi umat islam membaca dimana saja boleh kecuali dalam WC.

Umumnya orang jepang di tempat-tempat umum seperti stasiun, cuek dan sibuk sendiri. Gadis-gadis muda jepang biasanya mengeluarkan alat rias berupa cermin kecil, terutama membenahi bulu mata palsu yang dipasangkan pada matanya agar bulu matanya kelihatan lebat dan lentik. Atau membubuhkan semacam pinsil penghitam pada garis mata dibuat agak melebar agar ada kesan matanya lebih lebar. Maklum mata orang jepang sipit dan sedikit bulu. Mereka justru ingin bermata lebar dan berbulu lentik. Sebagian orang jepang, terutama nenek-nenek terkesan menghindar berdekatan dengan orang asing. Jika terpaksa berdekatan mereka terkesan tak nyaman. Belakangan baru tahu bahwa banyak orang jepang percaya bahwa pelaku-pelaku kriminal utamannya orang asing. Apalagi orang asing dari Asia. Oh yah, orang asing bule bagi mereka justru dipuja, sama seperti di indonesia juga. Meski di negara asalnya mereka termasuk orang kere.

Saat naik bus saya duduk berdampingan dengan pak tua. Dia nampaknya orang Fukui. Busnya nyaman, pake AC, tidak ada ngamen, tidak ada yang berdiri, pokoknya privasi dalam perjalanan begitu terjamin. Pak tua di samping saya kebetulan orangnya baik. Dia terus saja ngerocos ngomong, saya tak ngerti tapi dia terus saja ngobrol. Akhirnya saya putuskan tidur karena berisik juga. Tiba-tiba bus singgah di suatu tempat. Banyak bus dan juga mobil-mobil berhenti. Pikiran saya, busnya sudah sampai Fukui. Tapi koq sekitarannya masih hutan-hutan? Apa Fukui memang masih lebih sepi dari Kendari?

Begitu semua turun, pak tua turun, saya diajak juga. Saya segera meraih tas bawaan, tapi dia dengan isyarat melarang saya. Ternyata orang-orang tadi turun menuju toilet untuk sekedar buang air kecil atau besar. Nah saya juga ikutan kebetulan mau pingin pipis. Setelah pipis bingung juga karena tak ada tempat cebo'. Padahal selepasnya saya pingin wudhu untuk shalat. Dalam keadaan bingung, saya lihat begitu orang meninggalkan tempat pipisnya secara otomatis air keluar membasunya. Nah ada akal. Saya mundur sedikit, airnya langsung keluar membasuh tempat pipis. Lalu saya ambil airnya pake tangan kiri untuk membersihkan diri. Orang jepang yang pipis di samping saya kelihatan heran dan kikuk dengan kelakuan saya. Cuek saja yang penting bisa memenuhi aturan syariat.

Begitu keluar dari toilet, pak tua sudah menunggu saya rupanya bus akan berangkat lagi. Tempat ini memang belum Fukui. Belakangan saya tahu namanya 'Rest area'. Biasanya rest area ini ada di jalur tol. Untuk memberikan tempat bagi pengemudi untuk beristirahat sejenak. Entahlah apakah ada aturannya atau tidak, nampaknya orang jepang begitu teratur menggunakan rest area. Jika melakukan perjalanan jauh misalnya 8 jam perjalanan. Kebetulan kami sering bepergian menggunakan mobil dengan anggota lab jika pergi seminar di kota lain. Setiap periode dua atau dua setengah jam, kami selalu singgah di rest area. Selama lima sampai sepuluh menit lalu berangkat lagi. Warga jepang memang begitu teratur. Istirahat setiap dua jam tsb akan membantu menjaga kebugaran pengemudi.

Kira-kira jam 15:30 tibalah saya di stasiun Fukui. Oh yah berangkat jam 11:20. Sudah ada mahasiswa S2 di lab tempat saya belaja yang menjemput saya. Saat di Nagoya Airport saya menelepon dulu ke profesor saya di Fukui, bahwa saya sudah di Nagoya. Dia akan menunggu saya di Fukui saja. Barang-barang saya diangkut naik mobil sang mahasiswa. Lalu dipertemukan dengan profesor untuk berkenalan. Setelah semua beres saya diantar ke apartemen untuk mahasiswa asing. Kemudian diantar belanja berbagai kebutuhan untuk dapur dan juga perabotan. Yang paling penting adalah kasur dan selimut disebut futong. Kasurnya tipis, kira-kira 1/2 dari tebal kasus dari kapas yang dijual untuk mahasiswa. Belanja kebutuhan dapur cukup di toko 100 yen namanya. Di situ semua barang harganya 100 yen mulai dari sendok piring sampai alat tulis menulis, bahkan alat sepeda, kunci-kunci, obeng, komplitlah. Setelah belanjanya cukup, kami pindah ke supermaket besar untuk beli rice cooker, panci dll. Lengkaplah sudah, tinggal makanan, beras sudah beli. Tinggal lauknya. Masih ada indomie kebetulan saya bawa dari indonesia. Lalu teman mahasiswa tadi pulang. Sudah hampir magrib. Saya tinggal di kamar sampai keesokan harinya. Ternyata tetangga kanan kiri saya orang Indonesia, dari Aceh dan Surabaya. Ada juga muslim dari India, dari daerah Tamil Nadu. Lengkaplah bisa ngomong bahasa Indonesia kapan saja, makan bersama. Kondisi psikologis meninggalkan tanah air sudah mulai agak pulih. Karena ada teman Indonesia. Apalagi setelah tiba masa shalat, kami shalat berjamaah menggunakan salah satu ruang kosong di apartemen. Lengkaplah sudah bekal untuk menghadapi masa-masa sulit memulai riset untuk pendidikan S3.

Demikian kisah perjalanan 6 tahun lalu semoga ada manfaatnya.

No comments: