Thursday, July 31, 2008

Mari tolak RUU BHP

Rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (RUU BHP) sudah dirampungkan dan sekarang dalam proses uji publik. Departemen pendidikan nasional menyediakan tempat khusus bagi masyarakat untuk memberikan saran dan kritik atas RUU tersebut secara online pada http://pih.diknas.go.id/bhp/.

RUU ini sebetulnya adalah kelanjutan dari proses terbentuknya badan hukum milik negara (BHMN) atas beberapa perguruan tinggi negeri besar seperti UI, ITB, IPB, dan UGM. Nampaknya RUU ini begitu cepat terbentuk dibandingkan dengan pembentukan RUU lain yang biasanya memakan waktu puluah tahun mulai konsep sampai draft RUUnya. Kita patut bertanya-tanya mengapa begitu cepat proses tersebut, padahal pelaksanaan BHMN di PTN-PTN ternama tersebut masih jauh dari memuaskan. Saya termasuk salah seorang yang tak setuju pada konsep BHMN ini. Dalam diskusi-diskusi di milis Perhimpunan Pelajar Indonesia Jepang (PPI-J) yang diddominasi oleh alumni maupun dosen-dosen dari perguruan tinggi besar tersebut saya selalu melakukan kritik yang cukup keras atas BHMN. Berikut beberapa alasan dan rangkuman pendapat saya mengapa saya menolaknya.

Pertama, kita perlu tengok dulu bagaimana kesenjangan kemajuan PTN di Indonesia. Perguruan-perguruan tinggi terbaik hampir semua hanya terpusat di pulau jawa. Padahal perguruan tinggi negeri dibangun dari hasil seluruh wilayah indonesia. Mengapa dan bagaimana pemerintahan orde baru mengalokasikan dana, sumberdaya, dsb untuk memajukan pendidikan di negara kita sehingga setelah 63 tahun merdeka, perguruan tinggi dengan kualitas terbaik hanya ada di pulau jawa. Menurut saya ada yang salah dengan cara pemerintah mengalokasikan anggaran dalam menunjang operasional perguruan tinggi sehingga kita hanya menghasilkan kurang dari 10 buah perguruan tinggi dengan kualitas terbaik sementara mayoritas yang lain di luar pulau jawa, tertinggal jauh di belakang. Coba kita tengok para menteri selama orde baru bahkan sampai saat ini. Hampir semuanya jika diambil dari kalangan akademisi adalah dari UI, ITB, UGM, dan IPB. Nah mereka-mereka inilah yang mengontrol kebijakan-kebijakan pendidikan dan anggaran, yang disadari atau tidak, disengaja atau tidak, menyebabkan perguruan tinggi negeri tertentu saja yang melaju pesat. Artinya hasil-hasil kekayaan alam yang digerus dari seluruh tanah air kemudian dikumpulkan di jakarta lalu didistribusikan dengan cara yang tidak benar sehingga sumberdaya hanya terpusat pada beberapa gelintir perguruan tinggi yang sekarang menjadi BHMN.

Nah, pada awal-awal reformasi, otonomi daerah menjadi isu utama. Setelah otonomi daerah maka terjadi perubahan besar-besaran anggaran tiap-tiap daerah. Ini tentu saja akan berimbas pada dukungan daerah bersangkutan atas operasional perguruan tinggi negeri di daerah yang dimaksud. Pemerintah pusat membagi sebagian bebannya kepada pemerintah daerah untuk berperan dalam mengembangkan pendidikan di daerahnya. Tentu saja daerah seperti DIY tak akan sanggup membantu UGM dalam mengembangkan dirinya, demikian juga dengan Jawa Barat harus menyokong IPB dan ITB, maupun DKI dengan UInya.

Pada saat bersamaan, perguruan tinggi negeri sudah lama merindukan adanya keleluasaan dalam mengelola anggaran yang diterimanya agar mereka dapat mengelola anggaran lebih efisien dan tepat sasaran. Konsep ini dulu juga sering disebut otonomi. Nah di saat universitas sedang membutuhkan dana untuk mengejar keterlambatan setelah banyak mengalami perlambatan oleh kebijakan represif pemerintah orde baru, para ekonom dan para rektor perguruan tinggi besar tersebut, dan orang-orang yang mendominasi mainstream isu-isu nasional saat itu melegitimasi pernyataan pemerintah saat itu di bawah IMF bahwa negara tak sanggup lagi menyokong operasional perguruan tinggi. Ini seperti palu godam yang menghantam perguruan-perguruan tinggi. Bukankah untuk mengejar ketertinggalan, mereka butuh dana dan perhatian lebih besar agar kesenjangan kemajuan pendidikan antar wilayah dapat diatasi.

Pada saat itu, setelah pertemuan forum rektor sekitar tahun 1999, pada suatu konferensi pers, diumumkan bahwa pemerintah sudah tak mampu lagi mendukung operasional peguruan tinggi negeri sehingga satu-satunya jalan adalah otonomi perguruan tinggi yang kemudian berwujud menjadi BHMN saat ini. Saya tidak tahu bagaimana bisa para rektor universitas kecil mau saja menyetujui BHMN sebagai salah satu produk forum rektor saat itu? Apakah mereka tak sadar bahwa BHMN tidak akan bisa diterapkan di universitas kecil karena dalam konsep BHMN universitas harus bisa menggali sumber-sumber keuangan selain bantuan pemerintah. Potensi apa yang bisa dijual oleh perguruan-perguruan tinggi kecil? Lazimnya di luar negeri seperti Jepang dan Amerika, perguruan tinggi mendapatkan dana luar biasa besar dari kerjasama-kerjasama dengan industri, hasil penjualan paten, bahkan ada universitas yang mampu mendirikan perusahaan dalam memasarkan produk-produk risetnya. Mengapa BHMN di sana berhasil? Mereka berhasil karena universitasnya punya kemampuan dalam menjawab tantangan industri, sebaliknya perusahaan2 di luar negeri umumnya berbasi riset demi memenangkan persaingan global.

Bagaimana dengan kondisi internal perguruan tinggi kita dan juga kondisi eksternal yang melingkupinya? Riset-riset kita masih jauh dari memadai, juga perusahaan-perusahaan kita hanyalah perusahaan-perusahaan yang tak membutuhkan riset, mereka hanya butuh berkongsi dengan pejabat untuk markup proyek, manipulasi perizinan, dll. Sangat sedikit perusahaan yang dengan berbasis teknologi. Akhirnya mereka tak butuh bantuan perguruan tinggi. Mereka tak mengejar persaingan global sehingga tak butuh riset serius. Dalam kondisi seperti itu, para rektor yang terlibat dalam forum rektor yang menyetujui lahirnya BHMN adalah benar-benar tak paham apa yang sendang mereka diskusikan. Ini sungguh memprihatingkan. Sementara para rektor universitas besar justru memanfaatkan forum rektor yang saat itu sangat powerful sebagai kekuatan baru setelah Golkar dan ABRI mengalama delegitimasi. Pada saat itu presiden Habibie banyak mengadopsi pikiran-pikiran bahkan membutuhkan legitimasi dari forum rektor karena Habibie juga menghadapi resistensi dari banyak pihak. Nah pada saat forum rektor sedang dalam posisi penting tsb, justru tidak digunakan untuk menekan presiden Habibie agar lebih banyak menggelontorkan dana untuk dunia pendidikan tinggi, tetapi malah digunakan untuk memuluskan 'hidden agenda' PTN-PTN besar tsb untuk membentuk apa yang kemudian disebut BHMN.

Nah dalam kondisi dimana UI, ITB, UGM, dan IPB menjadi favorit dan dengan kualitas jauh di banding yang lain, mereka maju dengan BHMN dengan keleluasaan untuk mencari sumber-sumber penghasilan tambahan termasuk saat ini membuat berbagai macam komponen biaya masuk yang meski memberatkan mahasiswa tetapi mereka tetap akan milih masuk di sana karena paling top di Indonesia. Sementara universitas lain tinggal melongo, dana dari pusat semakin terbatas tapi mau BHMN juga belum sanggup karena banyak dosennya tak produktif sehingga hasil-hasil risetnya belum bisa diandalkan untuk menjalin kerjasama-kerjasama dengan perusahan maupun institutsi dalam dan luar negeri. Selanjutnya dapat ditebak PTN kecil bagaikan hidup segan mati tak mau.

Nah pada kondisi seperti ini, mereka bekerja cepat mendorong lahirnya RUU BHP agar mereka mempunyai kekuatan hukum dengan statusnya sebagai BHMN. Untuk memuluskan langkahnya agar RUU ini tidak mencolok melayani kepentingan mereka, dimasukkanlah juga SD sampai perguruan tinggi dapat bahkan wajib menjadi BHP seperti mereka.

Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin kesenjangan pendidikan antar wilayah dapat diatasi? Ini saya sebut sebagai penghianatan perguruan-perguruan tinggi besar. Mereka menikmati kue pembangunan lebih banyak saat masa orba, kemudian sekarang mereka lebih bisa memacu dirinya dari dana-dana mandiri karena sudah BHMN. Sementara yang lain BHMN juga nggak akan bisa, tapi sokongan dana dari pemerintah tak bisa ditingkatkan. Karena kita, oleh persekongkolan level tinggi ini, sudah berhasil diyakinkan bahwa pemerintah tak sanggup menyokong operasional perguruan tinggi. Padahal soal mampu tidak mampu adalah persoalan bagaimana mengatur alokasi anggaran. Kalau kita bisa menyakinkan pemerintah bahwa pendidikan adalah prioritas maka pasti akan ada alokasi berlebih untuk dunia pendidikan dan dikurangi untuk bidang lain. Tapi sekarang begitu mereka bisa BHMN mereka tak terlalu bersemangat lagi mendorong pemerintah pusat agar membuat kebijakan yang lebih berani dalam bidang pendidikan. Sementara suara dari perguruan tinggi besar tsb paling didengar dan berpengaruh di negara kita. Demo puluhan ribu guru tak ada artinya bagi pemerintah, karena mereka tak sekuat jika ada pernyataan sikap 100 profesor dari perguruan tinggi besar tsb yang mendesak pemerintah menaikkan anggaran pendidikan.

Mari kita tolak RUU BHP ini. RUU ini hanya akan memperbesar kesenjangan pendidikan antar wilayah. RUU ini adalah masalah ke 100 dalam dunia pendidikan kita. Mari kita desakkan RUU yang memaksa pemerintah agar segera memperkecil kesenjangan pendidikan antar wilayah.

No comments: