Sunday, August 3, 2008

Kredibilitas Polres Buton sedang diuji

Hari ini saya menerima e-mail berisi dokumen mengenai kasus pencurian kayu milik La Sitoro warga Kelurahan Awainulu, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara oleh beberapa orang yang sudah dalam proses hukum. Berdasarkan informasi dan data-data yang sampai pada saya, saya akan mencoba menguraikan kembali kasus dalam paparan berikut. Kasus ini juga menarik perhatianku karena saya juga dibesarkan di Pasarwajo dan mengenal persis pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini. Sepanjang pengetahuan saya saudara La Sitoro adalah seorang petani tangguh.

Sejak 25-30 tahun lalu ketika masyarakat tidak serius mengolah kebunnya dalam artinya bertani secara berpindah-pindah, pak La Sitoro muda sudah menekuni lahan/kebun yang terkait kasus hukum ini, dirawatnya secara terus menerus hingga sekarang pepohonan di dalamnya sudah dapat ditebang menjadi kayu berkualitas tinggi. Beliau mendedikasikan dirinya sebagai petani sejak masih muda, dan tak seorangpun mengusiknya. Pada saat itu kayu tak bernilai, karena orang bisa bebas menebang di mana saja, pasarwajo sebagian besarnya masih hutan belantara, sehingga tak ada yang peduli untuk menanam pohon di kebunnya. Kondisi berbeda dilakukan oleh pak La Sitoro, dimana beliau menekuni areal yang diolahnya dengan menanam tanaman jangka pendek, tanaman produksi seperti cacao dan kopi, bahkan memelihara pohon di dalam kebunnya untuk kebutuhan jangka panjang. Sekarang setelah kayu sudah bernilai ekonomis tinggi, dan masyarakat tak bisa lagi menebang pohon sembarangan karena prosedur penebangan pohon yang ketat, juga memang hutan-hutan sudah gundul oleh penebangan liar selama ini, tiba-tiba kebunnya diklaim sebagai milik pihak lain. Pada saat inilah justru, buah kerja selama 24 tahun saudara La Sitoro menjadi sangat bernilai, dan meski beliau akan menebang pohon yang ia tanam dan pelihara di kebun sendiri, beliau sebagai warga taat hukum, beliau mengikuti prosedur hukum yang berlaku dengan mengajukan izin mulai dari tingkat desa sampai dinas kehutanan untuk menebang/mengolah hutan dalam areal kebunnya sebagai buah dari kerja kerasnya selama ini. Dia adalah profil petani ulung, profil masyarakat bawah kita yang bekerja sungguh-sungguh, benuh dedikasi, dan taat pada hukum. Tapi di kemudian hari beliau menemukan dirinya menjadi tak berdaya dan dirampas hak-haknya. Beliau sedang berjuang menemukan keadilan. Sedang aparat hukum seolah tak mampu menyelesaikan kasusnya dengan adil kecuali terus-menerus diambangkan sementara seluruh aset-asetnya sudah berpindah tangan ketikan dalam kekuasaan polisi sebagai barang bukti.

Apa yang terjadi?
Dokumen orisinil kronologi peristiwa kasus ini dapat dilihat di sini. Saya mencoba meringkaskannya setelah membaca dokumen tersebut.

Setelah pak La Sitoro mengantongi izin untuk menebang pohon dalam areal kebunnya mulai dari tingkat desa/kelurahan sampai dinas departemen kehutanan (saya sedang menantikan copy dari surat-surat tsb), maka beliau melakukan penebangan di dalam kebunnya, daeerah Liampana, terkumpul sekitar 81 meter kubik balok kayu. Oh yah saya tahu persis bahwa areal Liampana adalah areal perkebunan yang telah diolah olem masyarakat sejak 30 tahun lalu bahkan lebih. Saya ingat, saat-saat kecil dulu saya sering berkunjung ke Liampana saat jagung sedang menguning, mengunjungi kebun nenek saya atau kerabat. Biasanya saat jagung menguning, merupakan masa-masa indah dimana menyantap menu jagung muda olahan seperti kambewe (dalam bahasa cia cia). Sepengetahuan saya pada masa itu, ada kebiasaan adat masing-masing desa untuk masuk secara masal dalam suatu areal perkebunan baru (hutan perawan) dipimpin oleh tokoh masyarakat/penguasa adat bahkan oleh kepala desa, kemudian pada hari itu dilakukan pembagian kavling untuk setiap orang. Tentunya bisasanya terlebih dahulu dilakukan komunikasi dengan tokoh-tokoh adat di wilayah sekitar areal hutan tsb. Dan mulai hari itu dengan disaksikan oleh seluruh masyarakat yang turut serta dalam proses pembukaan hutan tsb, penguasa adat (Dewan Sara) atau Kepala Desa mengesahkan secara lisan kavling-kavling setiap orang yang akan berkebun dan turut serta pada hari itu dengan disaksikan oleh seluruh masyarakat yang hadir. Hutan-hutan di belantara pasarwajo termasuk di Liampana adalah tanah negara, dan tak ada seorangpun yang mengakui/melarang proses adat tersebut karena begitu luasnya areal hutan, dan pada saat itu tanah masih tak bernilai. Tradisi atau kebiasaan tersebut kemudian sekarang disebut merupakan salah satu tradisi masyarakat dan diakui sebagai Hukum Adat. Hukum adat sendiri diakui sebagai salah satu sumber hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum dalam wilayah adatnya. Putusan-putusan adat tersebut bersifat mengikat karena sebagai suatu sumber hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Mengapa? Karena saat itu Badan Pertanahan belum mampu menjangkau sampai daerah terpencil, sehingga keabsahan atas kepemilikan tanah di masa lalu didasarkan pada hukum atau putusan musyawarah adatnya.

Nah kasus ini terjadi dimana hukum adat berlaku dan mengikat di sana, sehingga kavling-kavling yang telah diberikan, dalam perjalanan sejarah masyarakat sana, bisa berpindah tangan atau diperjual belikan. Perpindahan kepemilikan tersebut baik secara sukarela oleh perjanjian kedua belah pihak maupun dalam bentuk transaksi jual beli sudah sah cukup dengan dipersaksikan oleh penguasa adat (Dewan Sara) masing-masing wilayah sampai kepada Kepala Desa/Lurah. Dan saudara La Sitoro dalam kasus ini telah mengolah kebunnya dalam kurun waktu tersebut, sah secara hukum adat, juga sah menurut hukum formal karena status kepemilikannya diakui/disahkan oleh pemerintahan desa bahkan oleh negara karena beliau telah membayar pajak atas kepemilikan tanahnya.

Ketika saudara La Sitoro sudah menebang dengan hasil mencapai sampai 81 meter kubik, lalu wilayah tebangan tsb diklaim milik orang lain, dalam hal ini masuk wilayah adat masyarakat Tanamaeta. Patut digaris bawahi di sini bahwa meski dewan adat punya kewenangan mengatur masyarakat tetapi pertemuan dewan adat saat ini tak bisa menganulir keabsahan kepemilikan atas tanah 24 tahun lalu yang telah diputuskan berdasarkan formum musyawarah dewan adat (sarah) masa itu. Forum pertemuan adat masyarakat Tanamaeta saat ini tak bisa lagi menjangkau kasus yang terjadi di masa lalu karena diluar kewenangannya. Tak mungkin putusan saat ini dapat mengatur hal yang terjadi di masa lalu. Keabsahan kepemilikan atas tanah yang diklaim dalam wilayah adat masyarakat Tanamaeta harus diuji oleh melalui pengadilan. Berdasarkan pada alasan/klaim sepihak tersebut, telah terjadi pencurian kayu milik La Sitoro pertama sebanyak 30 meter. Kasus pencurian tsb disaksikan oleh dua orang saksi masyarakat sekitar lokasi (La Eja dan Wa Amuni). Polres Buton, tempat dimana saudara La Sitoro melaporkan kasus ini sudah mengambil data kesaksian yang bersangkutan pada tanggal 1 Januari 2008. Menurut kesaksian kedua orang tsb pelaku pencurian lebih kurang 20 orang.

Setelah kasus ini dilaporkan kepada Polres Buton, dan adanya klaim kepemilikan atas kayu-kayu tersebut oleh pihak lain maka status kayu tersebut sebagai barang bukti atas kasus sengketa kepemilikan dan kasus pencurian. Oleh karenanya kayu-kayu tsb menjadi kewenangan atau dalam kekuasaan Polres Buton. Tentu saja kayu 30 kubik yang dicuri juga menjadi tanggungjawab polisi untuk menangkap pelakunya karena adalah laporan tertulis dari saudara La Sitoro sebagai pemilik sah kayu tsb. Anehnya setelah kayu-kayu tsb dalam penguasaan polisi, kemudian sisanya dicuri/diambil lagi oleh gerombolan pelaku yang sama dengan alasan yang sama pula. Hilangnya barang bukti, apalagi berupa kayu dalam jumlah besar merupakan suatu kasus yang dapat mencoreng wibawa Polres Buton secara institusi. Karena ini menunjukkan ketidakprofesionalan Polres Buton bahkan jika tak ada tindakan berarti Polres Buton dalam mencari pelaku pencurian barang bukti tsb, maka oknum-onkum dalam institusi Polres Buton yang bertanggungjawab atas penjagaan barang bukti tsb dapat dianggap bekerjasama dengan salah satu pihak bersengketa yang sedang ditangani kepolisian. Kasus ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan ketakpercayaan masyarakat atas institusi polri. Jika kasus ini tak mendapatkan perhatian serius maka hanya akan menyuburkan anarkisme dalam masyarakat, karena masyarakat menjadi frustrasi terhadap proses hukum dan benci terhadap institusi/aparat hukum.

Analisis dan harapan
Dalam kasus ini ada beberapa hal penting yaitu

  1. Dalam kasus ini setidaknya dapat dipilah menjadi empat kasus yaitu
    - Sengketa kepemilikan tanah/kebun/kayu
    - Keabsahan SK Dinas Kehutanan untuk pengelolaan hutan tsb.
    - Pencurian pertama atas 30 meter kubik kayu milik La Sitoro
    - Hilangnya barang bukti kasus sengketa kepemilikan tanah/kayu sebanyak 50 meter kubik yang kasusnya sedang ditangani Polres Buton
  2. Kayu-kayu tsb dalam status sengketa, tapi secara legal sampai saat ini berdasarkan bukti-bukti yang ada saudara La Sitoro adalah pemilik sah kayu tersebut sampai ada keputusan hukum tetap bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh La Sitoro tidak sah menurut hukum, atau pihak-pihak yang mengeluarkan izin atas penebangan pohon di kebun milik saudara La Sitoro tersebut tak berwewenang atau melakukan kekeliruan. Oleh karenanya pengambilan secara paksa atau tanpa izin atas kayu-kayu dalam status sengketa tersebut masuk dalam kategori pencurian.
  3. Patut dipertanyakan apakah klaim kepemilikan atas kayu milik La Sitoro tsb telah dilaporkan secara resmi kepada Polres Buton atau belum oleh pihak masyarakat Kancinaa baik secara pribadi maupun berkelompok? Jika kasus ini belum dilaporkan, maka tindakan perampasan adalah tindakan ilegal/pencurian. Klaim kepemilikan oleh selain La Sitoro dapat diabaikan jika tak ada upaya hukum resmi dari mereka untuk menggugat hak kepemilikan tsb. Pertemuan, rapat atau forum apapun dari masyarakat Kancinaa tak dapat mengurangi hak La Sitoro atas tanahnya, karena klaim tersebut datang setelah 24 tahun saudara La Sitoro mengolah kebun miliknya. Pengolahan kebun secara terus-menerus selama 24 tahun merupakan suatu fakta hukum yang tak bisa begitu saja dihilangkan oleh klaim sepihak pihak lain jika tak disertai dengan menunjukkan dokumen tertulis sebagai pemilik sah kebun tersebut. Polisi dan pemerintah daerah setempat tak bisa bermain-main dengan kasus ini, karena jika klaim atas tanah yang telah dikuasai/diolah/ditempati selama 24 tahun dapat digugurkan dengan klaim sepihak misalnya dengan alasan tanah kuasa adat maka kasus ini akan menimbulkan kekacauan luar biasa karena hampir semua masyarakat tak mempunyai bukti tertulis kepemilikan atas tanahnya kecuali karena mereka telah mendiami/mengolahnya selama puluhan tahun. Proses sertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional, juga banyak berdasarkan pada fakta-fakta penguasaan atas tanah tsb dalam waktu lama jika tak ada dokumen tertulis kepemilikan atas tanah tersebut. Jadi sebaiknya Polres Buton, pemda Buton, Badan Pertanahan, dan Departemen Kehutanan berhati-hati dalam menyelesaikan kasus ini. Jangan sampai aparat hukum memandang remeh La Sitoro karena tidak berpendidikan dan berhadapan dengan pihak lain yang mungkin lebih mempunyai akses-akses terhadap kekuasaan politik daerah. Kasus ini akan menjadi pijakan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa kepemilikan atas tanah yang zaman dulu proses penguasaannya secara adat bahkan berdasarkan transaksi nonformal dan tak tertulis.
  4. Pemda Buton dan Dinas Kehutanan dipertaruhkan dipertaruhkan kredibilitasnya dalam kasus ini. Karena saudara La Sitoro sepanjang pengetahuan kami berdasar dokumen yang diterima telah menempuh prosedur resmi dalam mendapatkan izin pengolahan hutan.
  5. Kredibilitas dan netralitas institusi kepolisian khususnya Polres Buton dalam kasus ini patut dipertanyakan terutama karena hilangnya barang bukti yang berada dalam kekuasaaanya, berlarut-larutnya penanganan kasus ini hingga tak dilimpahkan ke pengadilan, juga tidak diperiksa dan ditangkapnya pihak-pihak yang telah dilaporkan dan dilihat oleh saksi telah melakukan pencurian atas kayu-kayu milik La Sitoro yang masih dalam status sengketa. Kasus ini akan berpotensi mencoreng wibawa kepolisian daerah Buton. Polisi sebaiknya membuktikan komitmennya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat untuk menemukan kembali kayu-kayu yang dicuri tsb. Masak sih kayu dalam jumlah besar di curi tak bisa ditemukan? Bukankah dalam kronologis yang dibuat oleh pihak La Sitoro, mereka telah menemukan dan menangkap sebagian pencuri kayu tersebut? Kapolres Buton harus segera mengambil tindakan atas kelalaian aparatnya jika tak ingin kasus ini akan menjerat Polres Buton secara institusi. Patut diduga bahwa Polres Buton kesulitan melimpahkan kasus ini ke pengadilan karena kesulitan menyertakan barang bukti yang sudah hilang atau sengaja dihilangkan. Pelimpahan kasus tsb harus disertai dengan pelimpahan barang bukti. Dalam era keterbukaan saat ini dan di tengah-tengah upaya reformasi kepolisian oleh Kapolri Jendral Sutanto, Polres Buton tak mungkin bisa menyembunyikan kasus ini. Pada saatnya kasus ini akan menjadi besar jika tak ada upaya serius Polda Buton membersihkan aparatnya jika secara pribadi terlibat dalam upaya penghilangan barang bukti tersebut.
  6. Keterlibatan aktor intelektual dalam kasus ini perlu ditelusuri apalagi secara gamblang aktor tersebut berperan dalam menggunakan kekuasaan adat dalam usahanya menguasai hak orang lain secara melawan hukum. Kami mohon kepada perangkat adat masyarakat Tanamaeta agar tidak terprovokasi, karena masalah ini bisa menjadi serius. Masyarakat Tanamaeta tak bisa memaksakan kehendaknya dengan menghilangkan/menganulir secara paksa dalam suatu forum adat masyarakat Tanamaeta atas kepemilikan tanah yang telah diolah oleh La Sitoro selama 24 tahun. Jangankan hanyalah forum adat, bahkan presiden sekali pun tak bisa mencabut hak kepemilikan seseorang atas tanah kecuali melalui putusan pengadilan yang telah bersifat tetap. Saya berharap agar masyarakat Tanamaeta tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang karena ambisi politik pribadinya membutuhkan uang banyak sehingga cara-cara kotor seperti pencurian kayu tsb dilakukan dengan memperalat masyarakat kecil yang tak mengerti hukum.
Semoga pengadilan dapat memutus perkara ini dengan seadil-adilnya karena akan menjadi barometer bagi penyelesaian konflik-konflik pertanahan serupa di daerah Buton yang pada masa lalu penguasaan atas lahan berdasar kesepakatan adat. Akan menimbulkan kekacauan luar biasa jika tanah yang pada 30 tahun lalu kosong, tak berpemilik, hutan belantara, tiba-tiba saja setelah 30 tahun diolah diklaim oleh pihak lain dengan juga tanpa bukti-bukti kepemilikan tertulis tapi hanya dengan klaim wilayah adat, atau tanah warisan yang juga tak jelas keabsahan kepemilikan pewarisnya.

Semoga aparat hukum khususnya Polres Buton dapat menyelesaikan kasus ini dengan seadil-adilnya.

Untuk korespondensi
kontak e-mail: la_agusu@yahoo.com

No comments: